Prolog

616 24 0
                                    

  بسم الله الرحمن الرحيم 🤍

Kasih
Kau adalah cinta yang tak pernah terkikis
Tulus yang tak pernah pudar
Rindu yang tak pernah lekang oleh waktu

Kasih
Kau meramu cinta sepekat hitam
Yang lebih pekat bahkan dari gulita malam

Seberapa berartikah aku di hatimu
Hingga tak sudi kau datang di mimpiku
Kau pergi meninggalkanku sendiri
Tenggelam dalam memori yang mustahil terulang kembali

Semilir angin fajar berembus dingin. Rinai hujan baru saja menyempatkan diri menyapa bumi. Turut serta membantu pepohonan menggugurkan daunnya, tak terkecuali dengan sebuah pohon delima yang tumbuh di pekarangan depan rumah sederhana bercat putih tulang. 

Seorang pemuda berparas tampan mengambil tiga helai daun hijau segar yang sudah tergeletak di atas tanah. Tanpa sadar, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Melengkung indah layaknya bulan sabit yang masih bersinar di atas langit.

“Kak Ucen?”

Pemuda bersarung hitam itu menoleh.

Seorang gadis kecil yang mengenakan mukena putih dengan bordir bentuk strawberry berlari mendekat dan mencium punggung tangan Husain. “Kak Ucen, Lia mau itu,” cadel anak itu sambil menunjuk-nunjuk pohon delima di depan mereka.

“Lia mau delima?”

Gadis kecil itu mengangguk semangat.

Husain tersenyum, digendongnya gadis tujuh tahun itu dan ia dekatkan ke buah delima yang sudah matang. Lia yang paham langsung memetik delima yang diinginkannya.

“Telima kacih.”

Husain tersenyum. Sekilas ia perhatikan sekitar, lalu kembali menatap tetangga kecil yang sedang digendongannya. “Kak Haula sama Kak Haura di mana, Li?”

“Di lumah, Kak.”

Husain manggut-manggut. “Masuk ke rumah lagi ya, Li?” Lia mengangguk.

Husain memetik satu buah delima lagi sebelum akhirnya membawa Lia masuk ke dalam rumah. Saat masuk ke dalam rumah, Husain dan Lia berpapasan dengan seorang pemuda tampan lain yang lebih dewasa. Pemuda bersarung putih itu tersenyum. “Lia sini sama Kak Hasbi aja,” ucapnya.

“Kamu sama Bang Hasbi dulu ya, Li?” tanya Husain ke Lia.

Lia mengangguk.

Hasbi mengambil alih Lia untuk digendongnya. Sedangkan Husain pamit menemui satu dari dua gadis kecil kesayangannya. 

Tok tok tok

“Haula?”

“Masuk.”

Husain masuk ke dalam kamar bernuansa putih itu. Seorang gadis cantik yang masih memakai mukena sedang mencium mushaf braille di pelukannya, lalu mengembalikan kitab suci itu ke meja kecil di sebelah kanannya dengan sangat hati-hati.

Husain tersenyum dan ikut duduk sajadah yang sama dengan Haula, bersebelahan dengan gadis itu. Husain mencium punggung tangan Haula dan Haula balas mencium punggung tangan Husain.

Husain mengusap-usap kepala Haula. Diamatinya wajah pucat gadis itu. “Kamu sakit, La?”

“Engga, Sen.”

“Nih buat kamu.” Husain menggenggamkan buah delima yang tadi dipetiknya ke dalam genggaman tangan Haula.

Haula tersenyum lebar. “Makasih,” ucapnya sambil meraba-raba bentuk buah di kedua tangannya, lalu ia tersenyum lagi. “Ini delima ya, Sen?”

“Iya.”

Husain menatap kedua manik mata Haula yang berkaca-kaca. Di balik kedua netra indah Haula, Husain tau kalau yang Haula lihat sebenarnya hanyalah kegelapan. Tanpa sadar air mata Husain mengalir.

“Husen, kamu nangis?” tanya Haula sambil meraba-raba wajah pemuda tampan di depannya.

“Engga kok.”

Dengan lembut Husain rengkuh tubuh mungil Haula masuk ke dalam dekapannya. Haula membalas dan menenggelamkan muka ke dada bidang pemuda itu.

Beberapa saat berlalu, Husain terdiam menyadari baju kokonya di bagian dada basah. Haula sedang menangis di sana. Diusap-usapnya lembut kepala gadis itu. “Luapin semuanya sampe kamu lega, La.”

Haula semakin terisak. “Haula mau lihat Ayah Bunda, Husenn… Haula pengen peluk mereka… ” rengek Haula di sela isakannya.

Husain mempererat dekapannya. Ditenggelamkannya mukanya ke bahu Haula dan ikut menangis di sana. Menumpahkan segala lukanya ke mukena gadis itu.

Hasbi dan Haura yang sejak tadi melihat dari depan pintu hanya terdiam. Hati keduanya seperti disayat-sayat melihat kedua adik kembar mereka sedang berpelukan sambil menangis. Keduanya mendekat, keempatnya pun saling berpelukan.

“Kak Hasbi… Haula mau ketemu Ayah Bunda… ”

“Iya, Haula… ”

“Ayo kita ketemu mereka… ”

Tak jauh dari sana beberapa orang terdiam melihat pemandangan itu. Tanpa sadar mereka ikut menangis juga.

Tuhan
Merindukannya adalah hal yang menyakitkan
Menyayat nadi dengan lirih
Meremukkan hati hingga serpih

Tuhan
Tolong tawanlah rasa rindu ini
Kurung ia di sudut jeruji besi
Ajari ia cara bersabar dan bertahan
Agar ia tak menghancurkanku perlahan


“Romansa Cakrawala”
Ini hanya sebatas kisah yang mengatasnamakan cinta, sebuah kisah cinta yang sulit dipahami.

Salam Cinta,

a. alfyixx

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang