107 : Sosmed

60 9 0
                                    

Sesampainya di rumah, Nino sekeluarga bersih-bersih, mandi, dan menunggu buka puasa dengan menghabiskan waktu bersama di ruang keluarga. Kebetulan mereka tidak perlu memasak karena sudah dibawakan masakan dari Zulaikha.

Nino menyelipkan helai-helai rambut istrinya yang sedang menyusui sang anak bungsu dari botol dot. Sedang ia masih mengganti popok Husain yang di kasur bayi depan mereka. Bayi tujuh bulan itu habis mandi, namun ngompol lagi. “Permisi Nona Maira, bisa minta waktunya seumur hidup?”

Maira terkekeh. “Boleh.”

Nino refleks mencium pipi sang istri. “Cantik, tau tidak sebesar apa cinta Daffinino untukmu?”

Maira menoleh dan tersenyum. “Lebih dari Daffinino mencintai hidupnya sendiri.”

“Tepat sekali, Cantik. Selamat, kamu mendapatkan piring cantik. Bisa diambil di hati Daffinino ya.” Nino kembali mencium pipi istrinya beberapa kali.

“Ayya ucin!” celoteh Haura.

“Abi bucin!” imbuh Hasbi.

Maira dan Nino tertawa.

“Oh ya, Sayang?”

“Hmm?”

“Kamu tidak pernah posting foto ke sosmed? Kemarin saya buat akun buat lihat semua sosmedmu. Tapi kok pada kosong?”

“Saya kan memang jarang post foto. Pernah ada, tapi sudah saya hapus.”

“Kenapa?”

Maira tersenyum tipis menyadari pertanyaan-pertanyaan suaminya. Padahal lelaki itu tak pernah punya sosmed, bisa-bisanya buat akun hanya untuk stalking semua sosmednya.

“Ada satu kutipan yang pernah saya dengar, ‘jangan beratkan hisabmu karena postingan-postingan sosmedmu.’”

Nino mengecup dalam-dalam pipi istrinya. Maira benar-benar tidak pernah mengumbar fisik meskipun perempuan itu cantik. “Tapi dua akun kamu akun dakwah ya, Sayang? Editan videonya estetik-estetik banget, cantik-cantik banget kayak yang punya akun. Kamu juga nggak pelit berbagi ilmu kesehatan. Duh Masya Allah istri idaman.”

Maira terkekeh sembari mendaratkan beberapa kecupan ke wajah cantik bayi mungilnya. Setelah itu ia baringkan Haula di sebelah Husain. Kedua bayi itu mulai merangkak dan sibuk bermain dengan dua kakak mereka. Kadang kali Hasbi dan si kecil Haura kerap bermain sambil mengobrol dengan bahasa Arab.

Fasih!

“Awsss… ”

“Kenapa, Sayangg? Ada yang sakit??” panik Nino.

Maira menggeleng. Tapi ia menarik pelan tangan besar bergurat otot namun lembut milik Nino untuk mendarat di perutnya. “Tolong usapin,” cengirnya.

Nino mengernyit sebentar, tapi detik selanjutnya langsung menuruti permintaan sang istri dengan senang hati. Bahkan beberapa kali ia kecup perut datar sang istri. Maira tersenyum. “Kamu pengen punya anak lagi?”

“Iyaa. Mau punya banyak anak biar bisa bikin club sepakbola,” kekeh Nino seenak jidat.

“Si kembar masih kecil, Abi.” Maira mencubiti pipi tegas Nino dengan gemass.

Nino terkekeh dan mengecup singkat pipi istrinya. “Ya gak papa, Umma. Hasbi sama Haura pasti suka kok kalau punya banyak adik. Ya 'kan, Nak?” Nino menatap Hasbi dan Haura. Kedua anak itu mengangguk polos.

“Tuh loh, Sayang.”

“Iya deh.”

Nino mendekatkan bibir ke telinga Maira. “Makanya Bunda, harus lebih rajin kerja lembur---awww, Sayangg.”

Maira terkekeh pelan dan melonggarkan jewerannya di telinga sang suami. “Ada anak-anak. Jangan ngomong macem-macem. Kalo mereka tanya macem-macem, saya nggak akan bantu jawab.”

“Oh iya hehe maaf, Sayang.”

Maira melepaskan jewerannya, lalu mengusap-usap telinga lelaki itu juga. “Maaf ya. Sakit ya?”

“Enggak kok, Sayangg.”

Maira tersenyum.

Mereka melanjutkan kegiatan menonton televisi. Maira menyandarkan kepala ke bahu Nino. Ia menunduk ke tangan besar yang sedang mengusap-usap perutnya lembut, lalu beralih ke bayi kembarnya yang sedang bermain. Maira tersenyum, tapi diam-diam menyeka air mata.

“Lohh? Kenapa, Sayang? Kok nangis? Ada yang sakit? Perut kamu sakit?”

Maira menggeleng.

“Unda kenapa nangis? Unda sedih?”

Hasbi, Haura, dan Nino bergantian menyeka air mata Maira. Mereka terus coba menenangkan sang Bunda. Maira menenggelamkan muka ke dada suaminya dan semakin terisak. Ia memang merindukan Radeva, tapi bukan itu alasannya menangis. Maira hanya teringat dengan hidupnya yang miris saja.

Sejak dulu Maira menginginkan kasih sayang, dan sekarang ia mendapatkannya. Ia juga menangis karena merasa sangat beruntung dengan keluarga yang sekarang ia miliki. Ia sudah punya harapan menemani anak-anaknya tumbuh dewasa hingga mereka semua jadi orang-orang yang ia dan keluarga inginkan, dan satu hal lagi, menua dengan sang suami.

Nino menarik Maira masuk ke dalam pelukannya dan berbisik pelan. “Jangan menangis lagi. Kami menyayangimu. Sangattt menyayangimu.”

Maira mengangguk. Ia ikut menggenggam tangan Nino yang dengan sangat lembut masih mengusap-usap perutnya.

“Haula… ” lirih Maira, tak kuasa menahan tangis tiap kali melihat manik mata jernih putri bungsunya yang selalu menatap kosong. Bayi mungil itu pasti hanya melihat kegelapan saja.

“Tidak papa, Sayang… saat sudah cukup usianya nanti, Haula akan mulai terapi. Insya Allah, Haula akan bisa melihat kita semua.”

Maira mengangguk.

Nino tersenyum. “Sayang, lihat deh. Dia bahkan lebih jarang menangis dibandingkan saudara kembarnya. Dia putri kecil kita yang kuat,” bisik Nino berusaha menguatkan sang istri.

Mereka berdua menoleh dan menatap Haula. Benar saja. Bayi kecil itu justru sedang sibuk bermain squishy sambil tertawa, meski putri mungil itu sebenarnya tidak tau apa yang sedang digenggamnya. Maira tersenyum haru. Putri kecilnya memang baik-baik saja.

Tak lama, maghrib pun tiba.

Semua mengakhiri puasa di hari itu dan mengawali berbuka dengan es buah, yang sudah mereka buat bersama sebelumnya. Ayah ibu dan keempat anak mereka itu saling menyuapi dengan senang hati.

“Aaa, Sayangg.”

“Aummm~”

“Enak, Sayang?”

“Enak dong, Unda. Kan Habi juga bantu potong agal-agal.”

“Jagoan Abi Umma terbaik.”

“Hula mauu.”

“Hula mau manta.”

“Mangga, nangka, atau semangka, Sayang?”

“Ndata manta ma nanta,” (Nggak ada mangga sama nangka) kesal Haura.

Nino, Maira, dan Hasbi terkekeh. Nino mencolek hidung kecil Haura dengan gemas. “Utututu Cayang, iya deh, mau semangka ya?”

Haura mengangguk. “Manka.”

“Aaaa~”

“Aummm… ”

“Haul sama Husain juga mau?”

Haula dan Husain tersenyum lebar sambil bertepuk tangan saat mengunyah agar-agar yang disuapkan sang ayah, ibu, dan kakak-kakak ke mereka. Semua tersenyum bahagia. Keluarga yang harmonis, itu impian Maira yang sejak kecil ia impikan. Sekarang ia mendapatkannya.

TBC

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang