90 : Saya menerima

74 9 0
                                    

“Mai, sarapan dulu yuk,” bujuk Zulaikha entah yang ke-berapa kali. Pasalnya sejak pulang dari rumah sakit tadi malam, Maira tak mau makan dan terus menyendiri. Perempuan itu benar-benar membuat mereka semua khawatir.

Maira hanya diam.

Hasbi menggenggam tangan pucat Bundanya yang sedang terbaring di tempat tidur sambil melamun. Hasbi mengusap-usap lembut pipi Maira. “Unda, Unda makan ya? Dali kemalin Unda belum makan. Habi cuapin ini.”

Beberapa saat Maira masih dalam lamunannya, sampai akhirnya perempuan itu beralih menatap Hasbi.

“Unda makan ya?”

Maira mengusap-usap kepala Hasbi, lalu mencoba bangun dari tidurnya dengan dibantu Zulaikha.

“Aaaaa~ ”

Maira melahap suapan dari pangeran kecilnya. Meskipun ia sedang sedih, tak seharusnya ia mengabaikan semua orang dan terus menyendiri. Tak seharusnya ia tak memikirkan kesehatannya juga. Dia seorang ibu. Tak seharusnya anak-anaknya melihat ia dalam keadaan lemah.

“Unda, ini Habi bawain naci belas melah, ikan calmon stim, sayul blokoli bayam, apel, alpukad, anggul, cama ini yang telakhil… apa yach… ” Hasbi mulai berpikir keras, membuat Zulaikha dan Maira tersenyum.

“Itu anggur kering,” lirih Maira.

Zulaikha tersenyum lega. “Akhirnya Maira mau bicara,” batinnya senang.

Hasbi ber-oh ria. “Ini cemua macakan Uti Zulaikha, Uti Fat, cama Ante Abel loh, Undaa. Enak kann?” jelasnya semangat.

Maira tersenyum dan mengangguk.

Sejak saat itu akhirnya Maira mau makan dan minum obat agar lekas pulih. Meskipun sejak musibah itu Maira jadi lebih sering menyendiri di kamar. Perempuan itu tak pernah lagi menangis di hadapan orang-orang yang menyayanginya, tapi ia hanya akan menangis di atas sajadahnya.

Setiap waktu Maira terus mencari jawaban atas apa yang terjadi. Allah mengambil satu demi satu orang yang ia sayangi, mungkin Allah telah menyiapkan sesuatu yang lebih baik atau pahala yang besar jika ia bersabar. Barangkali ia memang harus ikhlas dan tetap bersyukur dengan yang sekarang ia miliki.

✨ “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah 2: 153) ✨

Setelah makan siang, Maira tanpa sadar mengusap-usap perutnya dan terdiam menatap ke halaman samping rumah melalui kaca jendela. Abel datang dan duduk di sebelah perempuan itu.

“Mai… ”

Maira menoleh.

“Kakak minta maaf ya… ”

Maira menggeleng. “Kakak nggak salah. Kakak nggak perlu minta maaf, Kak… ”

“Tapi Kakak gagal jaga kamu… ”

“Janin itu memang belum rezeki Maira, Kak. Jangan salahin diri Kak Abel… Mungkin Allah memang lebih sayang sama dia, Kak. Mungkin Allah mau dia temenin Radeva di sana… ”

Keduanya berpelukan dengan erat. “Kalo kita sedih terus, dia juga bakal sedih ya, Kak?” lirih Maira dengan mata berkaca-kaca.

Abel mengangguk. “Kita ikhlasin ya, Mai?”

Maira mengangguk.

“Mau jalan-jalan, Mai?”

Maira mengangguk.

🥀

Tiga minggu kemudian…

Sore yang cerah Maira habiskan untuk bermain dengan anak-anaknya di ruang tamu. Sampai satu ketika, sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah Maira. Satu per satu orang turun dari mobil itu.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam.”

Tepat saat Maira menoleh, manik matanya beradu tatap dengan manik mata seseorang.

Kebetulan saat itu Zulaikha datang dan mempersilahkan Annisa beserta sang suami, Alif, Lia, dan… Nino. Maira menyalami tangan Annisa dan Kak Lia, lalu dengan sopan hendak pamit menuju dapur. Namun Annisa dan Zulaikha mencegahnya.

Maira pun menurut. Ia ikut duduk di ruang tamu, berhadapan dengan Hasbi dan seorang laki-laki dewasa yang tampak sangat akrab dengan anak itu. Maira menunduk.

Setelah dirasa cukup saling menanyakan kabar, Khalif dan Annisa mulai mengutarakan maksud dan tujuan mereka datang. Maira diam menyimak. Ia paham. Itu memang amanah dari Radeva. Itu permintaan terakhir suaminya. Tidak ada yang bersalah dalam hal ini, termasuk lamaran Nino untuknya.

🥀

Maira terpaku melihat taman di depannya. “Kamu belum pernah menikah. Kamu rela mempunyai istri pertama yang seorang janda?”

Nino menunduk. “Insya Allah. Sejujurnya, itu sama sekali bukan masalah bagi saya.”

Maira dan Nino kini duduk di bangku panjang yang ada di taman bunga samping rumah Maira. Yaa dan tentu saja tidak hanya mereka berdua di sana, tapi ada Alif dan Lia juga.

“Apa kamu bisa menerima dan mencintai anak-anak saya?”

“Insya Allah saya akan mencintai mereka seperti saya mencintai darah daging saya sendiri. Saya memang belum pernah menjadi Ayah, tapi Insya Allah saya akan berusaha jadi Ayah yang baik untuk mereka.”

Maira terdiam sejenak.

“Apa kamu mencintai saya?”

Nino terdiam.

Alif dan Lia jadi ikut menegang mendengar pertanyaan Maira barusan. Keduanya menatap Nino yang sejak tadi menunduk, menunggu apa jawaban yang akan keluar dari mulut laki-laki itu.

Nino mengangguk.

“Ya, saya memang masih mencintaimu,” ucap Nino tanpa menatap Maira.

Maira memejamkan mata. Ia tidak menyangka kalau Nino masih mencintainya hingga detik ini. Tiba-tiba ia teringat kembali dengan perkataan Zulaikha beberapa hari yang lalu.

“Kalau bukan sebagai suami, setidaknya terima dia sebagai sahabatmu. Terimalah niat baiknya. Berbagilah lukamu dengannya. Terimalah permintaan Radeva yang terakhir.”

Maira membuka mata. Ia terdiam sejenak memikirkan jawaban atas apa yang selalu ia tanyakan pada Allah, tentang sesuatu yang memang harus ia putuskan.

“Saya menerima lamaranmu.”

Deg

Nino, Alif, dan Lia kompak mematung, lalu bersamaan menghela napas lega. “Alhamdulillah.”

🥀

Singkat cerita, pernikahan Maira dan Nino sudah disiapkan dan berlangsung empat hari setelah lamaran. Keduanya melangsungkan akad di masjid yang lumayan jauh jaraknya dari rumah Maira maupun Nino dan hanya ada keluarga dari pihak Maira, Radeva, dan Nino saja.

Maira menatap laki-laki yang duduk lumayan jauh di depannya dan membelakanginya. Laki-laki itu berpakaian putih khas pakaian akad laki-laki arab. Maira memejamkan mata. Perempuan cantik bergaun, cadar, serta henna serba putih juga makeup natural, sudah membuatnya terlihat sangat cantik.

Maira peluk Hasbi lebih erat. Syukurlah Hasbi tipikal anak penurut. Hasbi memang belum paham dengan situasi. Tapi saat anak itu bertanya ke Maira, Maira mengatakan akan menjelaskan semuanya setelah pernikahan usai nanti dan Hasbi menurut. Anak itu tak banyak bicara dan terlihat riang seperti biasa.

Di dalam masjid, Arya menjabat tangan kanan Nino. Tak bisa dipungkiri hati pria itu sakit sekali. Ini kali kedua ia menikahkan putri tunggalnya. Apalagi mengingat saat Radeva menitipkan amanah itu juga padanya membuat Arya kembali hancur berkeping-keping.

Khalif yang ada di dekat calon besannya dan anak ketiganya pun menepuk-nepuk bahu mereka berdua, memberi kekuatan.

Akad pun dimulai.

TBC

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang