67 : Kontraksi

175 10 0
                                    

Hari-hari berikutnya Maira lewati seperti biasa. Dari subuh hingga siang ia bekerja di rumah sakit. Sore hingga malamnya ia di rumah melakukan kewajibannya sebagai istri. Tapi melakukan pekerjaan-pekerjaan ringan yang bisa ia lakukan.

Kalau pekerjaan rumah yang berat-berat tugasnya Radeva. Laki-laki itu jelas tak mau mengambil resiko untuk keselamatan istri dan buah hati mereka. Apalagi kini kandungan Maira yang semakin besar, tentu saja mereka harus lebih hati-hati lagi.

Setelah ganti baju, Maira mendudukkan diri ke tepi ranjang. Hari ini Radeva harus lembur sampai sore di kantor. Jadi tadi ia pulang dengan Luna yang kebetulan satu shift dengannya.

Sebenarnya selama hamil Maira juga dapat shift malam, tapi teman-teman dokternya mengajukan pergantian shift agar Maira dapat shift pagi terus sampai melahirkan. Akhirnya pengajuan mereka diterima.

Maira mengusap-usap perut besarnya yang mulai merasa lapar. “Kamu laper ya, Sayang? Bentar ya, Bunda masak dulu.”

Maira pergi ke dapur, mengambil bahan-bahan masakan di kulkas, dan mulai memasak. Ia memasak sup ayam dan nugget goreng. Itu saja. Ia hanya ingin makan dua itu. Nanti kalau suaminya akan pulang, baru ia memasak lauk lainnya juga.

Setelah selesai makan dan cuci piring, Maira kembali ke kamarnya. Di tangannya ada nampan berisi gelas kosong dan buah-buahan untuk ia taruh di nakas. Setelah itu ia pun ke kamar mandi dalam kamarnya dengan hati-hati. Ia berwudhu.

Sambil menunggu waktu shalat ashar, Maira membacakan Al-Quran untuk janinnya sembari terus ia elus-elus perutnya.

“Aww… ”

“Jangan nakal ya, Sayang.”

Maira mengusap-usap pinggangnya yang sakit. Sejak ia hamil ia memang sering sakit pinggang dan sakit kaki. Ya seperti ibu hamil pada umumnya.

Tiba-tiba ponselnya berdering.

WHATSAPP CALL

Sayang🤍

“Halo. Assalamualaikum, Sayang.”

“Waalaikumussalam, Sayang.”

“Kamu udah di rumah, Sayang?”

Maira menutup mushafnya. “Udah, dari jam satu tadi kok.”

“Udah makan?”

“Udah. Kamu? Udah makan?”

“Udah, Sayang.”

“Kamu pulang jam berapa?”

“Ini aku udah mau pulang. Kamu mau aku bawain apa?”

“Engga, aku ngga lagi pengin apa-apa. Kamu pulangnya hati-hati ya?”

“Iya, Sayang. Ya udah aku tutup dulu telfonnya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam. Hati-hati, jangan ngebut.”

“Siap, Sayang. Love you.”

Maira mengulum senyum. “Love you.”

Tut.

Tepat setelah mematikan telfon, bel rumah berbunyi. Maira melepas mukenanya dan berjalan pelan-pelan menuju pintu utama rumah. Setelah ia buka pintu rumah, ia buka juga gerbang rumahnya.

“Bunda ke sini sama siapa?” tanya Maira sambil mencium tangan Fatima, lalu mempersilahkan Bundanya masuk rumah.

“Sama Zafran, Mai. Tadi dia mau ke rumah temennya yang nggak jauh dari sini, jadi ya udah Bunda sekalian ikut ke sini aja.”

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang