101 : Persalinan

120 13 0
                                    

9 Ramadhan.

Seharian ini Maira tidak banyak bicara dan hanya di kamar sesekali menangis. Tak terasa sudah satu tahun lamanya Radeva pergi meninggalkan dunia.

“Sayang?”

Maira diam melamun.

Nino naik ke tempat tidur dan duduk di sebelah Maira. Ia peluk perempuan itu untuk memberi kekuatan. Lagi-lagi Maira menangis.

“Maaf, No. Saya merindukan Radeva… ” lirih Maira.

Nino menggeleng dan mengeratkan pelukannya. “Tidak papa, Maira. Saya juga merindukannya,” lirihnya juga.

Keduanya berpelukan.

Saling berbagi luka.

🤍

Bulan ke-6 kehamilan.

Beberapa hari setelah Idul Fitri.

Nino menuntun Maira ke kamar mandi untuk berwudhu, kemudian setelahnya mereka shalat dhuhur berjamaah. Nino, Maira, dan Hasbi. Maira shalat dalam posisi duduk karena tidak kuat berdiri lama. Sedangkan si kecil Haura hanya merangkak ke sana kemari sesekali mengajak bicara ketiganya yang sedang shalat.

Selesai shalat dan berdoa, mereka mengaji. Nino mengajari Haura mengaji. Sedangkan Maira menyimak bacaan Hasbi. Setelah selesai, Nino tiduran di paha Maira sambil membacakan Quran untuk nyawa dalam perut perempuan itu.

Maira diam menatap Nino. Ia sebenarnya ingin sesuatu, tapi tak enak hati untuk meminta. Selama enam bulan ia hamil, ia sudah mengidam lumayan banyak dan macam-macam. Maira menunduk lesu.

“Jangan dulu ya, Sayang? Bunda nggak enak sama Ayah kalian,” ucap Maira dalam hati.

Nino yang tersadar pun mendongak menatap istrinya. Lelaki itu tersenyum dan mengecup singkat tangan Maira. “Kenapa, Sayang? Ingin sesuatu ya?”

Maira menggeleng.

“Tidak boleh bohong loh. Kalo kamu bohong nanti gigi saya yang ompong.”

“Kok bisa?”

“Soalnya saya adalah kamu, kamu adalah saya. Kita bagaikan sepasang sepatu, selalu bersama dan selalu bersatu,” ucap Nino sambil bernyanyi.

“Kok bersatu? Kan berdua,” ralat Maira.

Nino memonyong-monyongkan bibir sambil menyatukan kedua telunjuk. “Tapi kan kalo malem jadi bersatu,” ambigunya.

“IH! Kenapa bahas kayak gitu sih!?”

Nino cengengesan. “Maaf kelepasan hehe… ”

Maira mendengus.

“Habisnya enak banget sih. Jadi candu kan… ” imbuh Nino.

“Ihh!”

Nino manyun sambil mengusap pelan telinganya yang barusan Maira jewer. “Iya… saya tau saya emang ganteng, saya juga tau kamu gemes sama saya. Saya tau meskipun saya kurus, tapi saya tetaplah hot daddy kamu.”

Maira geleng-geleng. “Hot daddy? Sugar baby kamu mana?”

Nino mencubit pipi Maira. “Nih di sini.”

“Satu aja?”

“Masih ada banyak tuh di—”

Bugh!

Nino mengusap-usap lengannya sambil monyong-monyong. Tampolan Maira bukan main. “Iya iya, Sayang. Maaf. Kamu lagi pengen apa, hm?”

Maira menatap kedua anaknya yang lucu sedang makan sosis sambil sibuk bermain mobil-mobilan tanpa sedikitpun menoleh ke ia atau suaminya. Maira kembali menatap Nino. “Pengen dimasakin nasi padang.”

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang