55 : Meyakinkan

62 8 0
                                    

“Jadi kamu biarin Maira lepas gitu aja, Dev?”

Abel menatap adiknya tak percaya. Adik laki-lakinya yang kini masih memakai baju koko dan sarung hanya merebahkan diri di atas sajadah sambil memejamkan mata.

Setelah sholat maghrib, ia, Radeva, dan Bunda masih menetap di ruang sholat. Sedangkan Fla dan Chiko sudah kembali ke kamar untuk belajar. Radeva juga sudah menceritakan tentang ta’aruf Maira dengan Reyhan pada Bunda dan Kakaknya.

Radeva membuka mata. Ia juga bangun dari tidurannya. Ia duduk di antara Bunda dan Kak Abel. “Kak, Maira tuh masih ta’aruf. Belum tentu dia sama Reyhan cocok, 'kan?”

“Kalau cocok??”

Belum sempat Radeva menjawab, Abel kembali bersuara dengan bibir monyong-monyong. “Kak, kan masih cocok aja. Belum akad. Iya?! Gitu?!” ucapnya menirukan ucapan Radeva sebelumnya.

Radeva menghela napas.

Zulaikha mengusap-usap kepala Radeva. “Kamu mau nikah di umur berapa sih emang, Bang?”

Radeva menggeleng.

“Sekarang ini kalo bisa milih kamu pilih karir apa nikah?” tanya Zulaikha lagi.

“Mungkin nikah, Bund.”

Zulaikha tersenyum.

Abel menjentikkan jari. Ia masih ingin meyakinkan adiknya tentang apa yang selama ini ia amati dari gerak-gerik Maira dan Radeva. “Maira tuh sukanya sama kamu, Dev. Kamu tuh mestinya sadar dari dulu,” terangnya blak-blakan.

“Itu nggak mungkin, Kak,” elak Radeva.

“Nggak mungkin gimana??”

“Maira cuma anggap aku sahabat, Kak. Nggak lebih.”

Abel berdecak. “Nggak lebih gimana?! Kamu emangnya ngga sadar gimana cara dia tatap kamu?! Kamu ngga sadar gimana perhatiannya dia ke kamu?! Kamu bilang itu cuma perhatian sahabat ke sahabatnya aja?! Nggak! Itu bukan perhatiannya sahabat. Itu perhatian kita ke orang yang kita cinta, Dev!”

Radeva terdiam.

“Dev.”

“Persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu mustahil kalo nggak ada yang punya perasaan lebih. Kamu punya perasaan itu. Maira juga punya perasaan itu. Kalian punya perasaan yang sama, Dev.”

Radeva terdiam.

Abel menghela napas lagi. Ditatapnya sang adik dengan seserius mungkin. “Dev… plis dengerin Kakak.”

“Kalian berdua… ”

“Kamu… sama Maira… sama-sama suka, kalian sama-sama cinta. Perasaan kalian itu bukan perasaan yang baru tumbuh kemarin, Dev. Tapi udah tumbuh dari dulu. Kalian aja yang nggak sadar.”

Radeva terdiam lagi. Ia memilih diam mencerna kalimat demi kalimat yang Abel katakan padanya.

“Cinta itu ada karena terbiasa. Rasa kagum kalian empat belas tahun yang lalu, seiring berjalannya waktu pasti udah berubah jadi cinta, Dev.”

Radeva terdiam lagi. Ia tersadar saat Bundanya menggenggam erat tangan bergurat otot miliknya. “Masa kamu rela orang yang dari dulu kamu langitin namanya lewat doa, kamu biarin lepas gitu aja?” goda Zulaikha bermaksud menyemangati anaknya.

Radeva menghela napas pasrah.

“Ya terus gimana, Bunda?”

“Lamar dia. Ajak dia menikah.”

“Tapi kapan, Bunda?”

“Nanti, setelah dia ta’aruf.”

“Setelah ta’aruf?”

Zulaikha mengangguk. “Bunda yakin, kalau Maira akan tolak Reyhan. Maira bukan tipe perempuan yang pasrah gitu aja. Dia pasti akan pertimbangin perasaannya baik-baik. Dia pasti akan dituntun Allah agar jatuh ke hati yang tepat. Berdoa aja, Bang.”

Radeva tersenyum. Dipeluknya Bundanya dengan erat. “Makasih, Bunda.”

“Sama-sama.”

Abel tersenyum. “Tikung yang tajem, Dev. Jangan kasih kendor. Kakak doain semoga tahun ini kalian nikah. Aamiin.”

“Aamiin,” sahut Zulaikha.

Radeva terkekeh. Tapi dalam hatinya mengamini. “Kenapa harus tahun ini? Kan kecepetan.”

Zulaikha berdecak. “Bunda tuh pengen gendong cucu lagi yang banyak, Dev. Pengertian dikit dong,” celetuk wanita itu.

Radeva geleng-geleng. Ia pun pamit kembali ke kamar dan mendudukkan diri di tepi ranjang. Ia ambil mushaf di atas nakas dekatnya. Dibukanya lembar demi lembar halaman mushaf itu. Tak lupa juga bibirnya terus bergumam membaca doa-doa.

Ia ingin sekali bertanya pada Maira bagaimana ta’aruf gadis itu. Apa Maira dan Reyhan merasa saling cocok atau bagaimana. Tapi sebisa mungkin ia tahan.

Ia berusaha sebaik mungkin untuk menjaga Maira seperti biasanya. Ya, menjaga dirinya dan Maira dari dosa karena rasa yang masih haram hukumnya.

🌼🌼🌼

Maira menciumi bayi dalam gendongannya. Bayi itu sangat menggemaskan, membuatnya tak bisa menahan diri untuk tidak mencium bayi itu. Lia yang melihat itu hanya terkekeh geli.

Kelimanya pun keluar dari kafe dan menuju mobil di area parkir. Berhubung mushola di kafe penuh, mereka memutuskan untuk menunaikan sholat maghrib di masjid sekitar sana saja. 

“Mai, keluarga seperti apa yang kamu mau?” tanya Reyhan yang berjalan di sisi Maira, namun agak jauh.

“Keluarga yang… ”

Maira terdiam berpikir.

“Keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang,” ucapnya setelah hening beberapa saat.

Reyhan tersenyum. Ia membuka suara lagi. “Bagaimana hubunganmu dengan Radeva, Mai? Kamu tidak pernah punya perasaan spesial buat dia?”

Maira terdiam lagi.

Jujur, ia tak tau harus menjawab apa.

TBC

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang