98 : Sesuatu buat kamu

73 9 0
                                    

“Kamu tidak rindu saya?”

Nino langsung tersenyum. Ia belai lembut pipi sang istri. “Tidak mungkin saya tidak merindukanmu, Mai.”

Maira tersenyum. “Setelah saya lahiran, kamu pulang ke Aceh dan menetap di sana. Kamu mengajar mengaji anak-anak di sana juga?”

Nino mengangguk. “Alhamdulillah.”

Maira membalas genggaman tangan Nino. “Dulu, apa kamu ikhlas saat saya menikah dengan Radeva?”

“Insya Allah, Mai. Almarhum… dia laki-laki yang sangat baik, dia juga sangat mencintaimu. Begitu pula denganmu. Radeva pasti membuatmu selalu bahagia. Walaupun memang saya masih mencintaimu, tapi saya juga mau kamu bahagia.”

Maira tersenyum.

“Dan ada satu hal yang sejak dulu saya yakini, Mai.”

“Apa?”

“Kalau kamu memang bukan takdir saya, saya tidak akan pernah bisa mendapatkanmu.”

Maira tersenyum tipis. “Sekarang saya menjadi takdirmu.”

Nino tersenyum. “Iya, sekarang kamu menjadi takdir saya.” Keduanya tersenyum dan kembali menikmati menu ‘sarapan lebih awal’ mereka.

Maira menyibak pelan rambut depan Nino yang lumayan panjang agar tidak masuk ke dalam gelas saat laki-laki itu minum susu. “Ini sudah jam dua. Ayo mandi.”

Nino menyingkirkan dua gelas kosong di depan mereka. “Bersama?”

Maira bangkit dari duduknya dan mengambil bathrobe. “Katanya mau saya bantuin cukur. Kalau tidak mau ya sudah,” ucapnya lalu menuju kamar mandi.

Dengan wajah yang mendadak merah, Nino mengembalikan gelas susu ke dalam kulkas, mengambil bathrobe, lalu menyusul Maira yang sudah ada di dalam kamar mandi.

🤍

Selesai shalat subuh berjamaah di rumah, Nino langsung sibuk dengan urusan pekerjaan. Sedangkan Maira, ia menemani kedua anaknya menonton televisi di ruang tengah.

Maira bermain boneka dengan putri kecilnya, sementara Hasbi menonton televisi sambil sesekali membaca buku dongeng berbahasa Arab pemberian sang Ayah.

“Hasbi, tolong jagain Haura sebentar ya?”

“Iya, Unda.”

Maira mendatangi suaminya di kamar. Laki-laki itu sedang duduk di karpet bawah sambil sibuk bermain ponsel.

“Nino?”

“Hmm?”

“Ih itu taruh dulu… saya mau ngomong.”

“Oh iya, astaghfirullahaladzim… maaf, Sayang… ” Nino refleks meletakkan ponselnya dan duduk sepenuhnya menghadap Maira. Dibelainya pipi sang istri sembari ditatapnya penuh cinta.

“Kenapa? Butuh apa, Ayang?”

“Ih alay!”

Nino tertawa. Ia cium gemas pipi istrinya. Maira sudah tidak kegelian karena kumis dan berewok tipisnya sudah hilang. “Pengen sesuatu? Laper? Mau makan sesuatu? Apa makan saya juga boleh kok dengan senang hati,” ucapnya cengengesan.

Maira berdecak.

“Iya iya Mai, kenapa atuh?”

“Saya punya sesuatu buat kamu.”

Nino berbinar. “Apa, Sayang??”

“Coba kamu lihat di atas kasur.”

“Di atas kasur?”

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang