10 : Memaksa Bunda

77 13 0
                                    

“Assalamualaikum, Bunda.”

Nino mencium punggung tangan Annisa. Wanita itu pun tersenyum. “Waalaikumussalam. Tumben kamu pulang cepet. Emang ini udah jam pulang? Kamu bolos?”

Nino menghela napas. “Nino pulang telat Bunda curiga, Nino pulang cepet Bunda juga curiga. Nino serba salah deh.”

Annisa berjinjit dan mengacak pelan rambut anaknya. “Ya udah buruan mandi. Bentar lagi udah mau masuk waktu ashar.”

Nino mengangguk.

“Oh ya, Bunda.”

“Hm?”

“Nanti temenin Nino ngaji lagi ya?”

Annisa mengangguk. Wanita paruh baya itu tersenyum dan mengusap-usap lengan anaknya yang cukup kekar. “Biasanya kan juga Bunda temenin, No. Udah gih kamu mandi.”

Nino mengangguk.

🍁🍁🍁

Sudah sekitar setengah jam Annisa dan Nino mengaji bersama. Sekarang mereka sedang istirahat sebentar untuk minum.

“Kenapa tiba-tiba semangat ngaji lagi? Udah tobat?” tanya Annisa.

Nino terkekeh. “Gitu amat sama anak sendiri.”

Annisa tersenyum. “Gara-gara calon menantu Bunda ya?« godanya.

Melihat senyum Nino yang tercetak jelas di bibir cowok itu, Annisa ikut tersenyum. “Semoga kalian berjodoh ya.”

Nino membulatkan mata. Tetapi di detik berikutnya cowok itu langsung tersenyum lagi. “Aamiin.”

“Makanya, Bunda bantu Nino dong buat dapetin hatinya,” rayu Nino.

“Emang hatinya lagi dibawa siapa?”

“Hatinya dibawa Allah.”

Annisa terdiam, lantas wanita itu tersenyum lagi. “Namanya siapa?”

Nino terdiam ragu.

“Nanti kalo Bunda tau namanya kan Bunda jadi bisa ikut mintain hatinya ke Allah buat kamu,” lanjut Annisa.

Nino terdiam sejenak.

“Maira.”

“Namanya Humaira Naufa, Bunda.”

Annisa manggut-manggut. “Namanya cantik… . Kamu suka sama dia, No?”

Nino mengangguk. “Mungkin lebih dari itu.”

“Dia murid di sekolah barumu?”

“Iya.”

“Apa yang buat kamu jatuh cinta ke dia?”

Nino membaringkan diri ke atas sajadah dan menatap langit-langit ruang shalat sembari tersenyum. “Ada banyak alasan kenapa Nino jatuh cinta ke dia, Bund.”

Annisa hanya tersenyum geli.

Baru kali ini Nino membicarakan perihal perempuan kepadanya. Pasti Maira sangat istimewa bagi anaknya.

“Bunda?”

“Hmm?”

“Kalo abis ujian akhir nanti Nino mau langsung nikahin Maira, gimana?”

Bugh

“Sakit, Bunda.” Nino meringis pelan. Diusap-usapnya kakinya yang barusan dipukul Annisa tanpa perasaan.

“Ya kamu kalo ngomong sembarangan.”

“Tapi niat Nino kan baik, Bund. Nino mau langsung halalin aja. Lebih cepat lebih baik. Menikah kan ibadah.”

“Emang kamu gak kuliah?”

“Kuliah sekaligus jadi suami kan bisa.”

Annisa geleng-geleng kepala. “Maira mau kamu kasih makan apa?”

“Cinta,” balas Nino sambil menyengir tanpa dosa.

Bugh

“Sakit, Bunda.”

Lagi-lagi Nino mendapat pukulan dari Annisa di kakinya. Annisa terkekeh. “Alhamdulillah.”

Nino mengerucutkan bibir. “Tapi Nino pengen cepet-cepet nikah sama Maira, Bund.”

“Kenapa?”

“Nino mau jadi suami yang baik buat dia. Biar nanti juga Nino bisa selalu jagain dia, lindungi dia.”

“Kalo abis kelulusan nanti kamu sama Maira nikah, emangnya kamu sama dia engga kuliah? Emang Maira bakal dibolehin sama orangtuanya?”

“Ya nanti aku sama Maira tetep kuliah sampe lulus, Bunda.”

Annisa mendengus. “Iya kalo Maira nggak langsung hamil,” gumamnya pelan. Tapi Nino masih bisa mendengarnya.

Nino terdiam sejenak. Tadi-tadinya ia tidak sempat memikirkan yang itu. Sekarang Bundanya lah yang membuatnya jadi berpikir tentang itu.

“Astaghfirullah, Bunda. Jangan bahas itu dulu. Kan Nino jadi mikir macem-macem.”

Bugh

“Astaghfirullah.”

“Kamu tuh ya!”

“Astaghfirullah bercanda, Bund.”

Annisa geleng-geleng tidak habis pikir.

Nino bangun dari tidurannya. “Ya nanti selama Nino kuliah, Nino juga sambil kerja. Dan kalo Maira udah siap jadi ibu ya keputusan tergantung dia, terserah dia maunya lanjut kuliah apa engga.”

“Kalo Nino sih jelas udah siap-siap aja kalo jadi Ayah,” lanjut Nino sambil menyengir tanpa dosa.

Bugh

“Astagfirullah, Bunda.” Nino berganti mengusap-usap lengannya yang dipukul Annisa.

Annisa geleng-geleng.

Anaknya ini benar-benar…

“Ya udah kalo gitu abis Nino sama Maira nikah, kita fokus kuliah dulu aja. Kalo tentang punya anak, nanti kita bisa tunda dulu, Bund.”

Bugh

Nino meringis lagi.

“Bunda gak mau ya kalo waktu kamu udah nikah, kamu sama istri kamu nanti nunda-nunda kasih cucu buat Bunda,” kesal Annisa.

Nino menghela napas. “Ya terus Bunda maunya gimana?”

“Kalian fokus sekolah aja dulu. Jodoh udah disiapin sama Allah. Nanti kalo udah waktunya juga bakalan ketemu.”

Nino menghela napas. “Tapi Nino kan bisa kuliah sekaligus jadi suami, Bund.”

“Emangnya kamu mau kerja apa?”

“Kerja rodi.”

Bugh

Nino mengusap-usap lengannya lagi. “Astagfirullahaladzim. Ya Allah semoga Maira engga suka gebukin orang, Ya Allah. Eh tapi gak papa sih. Nino ikhlas kalo digebukin Maira, Ya Allah. Pasti Maira gebukinnya kan pake cinta, pake perasaan.”

“Iya kalo kalian berjodoh, No.”

“Bunda… ”

Drrtt drrtt

Annisa mengambil ponselnya yang ada di atas meja kecil di sana. Senyumnya mengembang. “Ayah telfon, No.”

Tiba-tiba ide jahil terlintas di benak Annisa. Ia menatap putranya sambil tersenyum penuh arti. “No, Bunda bilangin ke Ayah sekalian ya kalo kamu mau nikah?”

Nino membulatkan mata.

“Bunda, jangannnn… ”

TBC

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang