104 : Kebersamaan

71 11 0
                                    

4 Ramadhan

“Beneran nggak papa kan kalau anak-anak ikut kita?” tanya Annisa memastikan lagi. Wanita itu ingin membawa Hasbi dan ketiga adiknya menginap di rumahnya malam ini. Menemaninya, suaminya, dan Reyhan juga sang istri yang belum diberi rezeki momongan.

“Tidak papa, Bunda.”

“Kalau si kembar rewel ajak minum susu atau bermain saja, Bunda. Pasti tidak akan rewel lagi,” ucap Nino.

Annisa mengangguk. Ia bersama anak bungsu serta menantu bungsunya pun pamit pulang. “Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam.”

“Tataa Undaa!!”

“Tata Ayahh!!”

Hasbi dan Haura yang sudah berada di mobil melambaikan tangan ke kedua orangtua mereka dengan riang.

“Tataa, Sayangg!! Jangan nakal yaa??”

“Ciapp, Laja Latu!!”

Maira dan Nino tersenyum.

Mobil Reyhan pun perlahan menjauh.

Nino menggandeng tangan Maira agar ikut masuk ke dalam rumah, lalu menutup pintu juga. “Kalau hanya berdua jadi sepi ya, Mai?”

“Iya.”

“Yuk kita lanjut masak.”

“Ayuk.”

Di dapur, Nino membantu istrinya masak. Mereka hanya masak sedikit karena kan makanan buka puasa hanya untuk berdua saja. Sesekali juga Nino menjahili istrinya yang sedang memasak. Dasarnya emang jahil!

“Sayang, ingat tidak dulu kamu sering masak dengan Reyhan?”

“He em.”

“Saya selalu cemburu tau.”

Maira terkekeh. “Saya kena angin malam saja kamu cemburu sama si angin, No.”

Nino langsung tertawa.

Tak lama, maghrib tiba. Mereka pun berbuka puasa bersama dan shalat maghrib berjamaah. Tak lupa melanjutkan bacaan Al-Quran mereka hingga kiranya mereka ingin menyudahi.

“Ayo makan, Sayang.”

“Ayo.”

“Bismillah.” Nino langsung menggendong istrinya ke ruang keluarga. Maira hanya menurut dan melingkarkan kedua lengan ke leher suaminya.

“Kamu tunggu di sini ya? Biar saya bawain makanannya ke sini?”

“Biar saya bantu.”

“Tidak usah. Kamu di sini saja.”

Maira mengangguk.

Ia pun menonton televisi.

Tak lama Nino datang dengan sebuah nampan besar berisi beberapa piring. Setelah cuci tangan dan berdoa, mereka pun makan dari satu piring yang sama.

“Aaaa~”

Maira melahap nasi serta daging gurame bakar yang disuapkan Nino padanya. Memang ikannya terbilang agak kecil, tapi Insya Allah cukup untuk mereka berdua. Sebuah hal yang sempat membuat Nino takjub dengan gaya hidup istrinya yang sangat sederhana. Jarang sekali Maira minta hal-hal yang mahal. Bahkan hampir tidak pernah.

Bahkan makanan pun Maira dan anak-anak hampir tidak pernah makan makanan mahal. Alasan mereka satu, di luar sana masih banyak orang yang kesulitan hanya untuk dapat sesuap nasi, rasanya tidak pantas kalau kita menghambur-hamburkan uang untuk makanan mewah demi kesenangan semata.

Nino akui, ia laki-laki yang sangat beruntung memiliki istri dan anak-anaknya.

“Enak?”

“Banget.”

“Oh jelas sih, kan saya masaknya pake cinta.”

“Iyain deh.”

Maira berganti menyuapi Nino langsung dari tangannya. “Anak-anak sudah makan juga 'kan ya? Si kembar rewel tidak?”

Nino mengunyah makanannya hingga tertelan, sembari menyuapi Maira juga. Setelah benar-benar tertelan, baru ia menjawab. “Sudah, Mai. Alhamdulillah tidak kok. Tadi Bunda bilang si kembar sempet nangis, tapi setelah minum susu langsung anteng lagi.”

Maira mengangguk. Setelah menelan makanannya baru ia berucap hamdalah. “Alhamdulillah.”

Salah satu adab penting yang sudah mereka terapkan sejak dini, adab makan.

“Oh ya, No. Maaf, kemarin beberapa bahan makanan yang lebih saya kasih ke orang yang lebih membutuhkan.”

“Masya Allah tidak papa, Sayang. Tidak perlu minta maaf. Bersedekah kan hal yang baik.”

Maira tersenyum. “Kalau barang-barang saya nanti juga disedekahkan boleh?”

Nino tersenyum. “Boleh. Itu hakmu.”

“Terima kasih.”

“Terima kasih kembali.”

“Kenapa selalu terima kasih kembali? Kenapa tidak sama-sama?”

Nino menyuapi Maira lagi lalu membersihkan juga noda kecap yang belepotan di bibir perempuan itu. “Terima kasih kembali atas setiap kebahagiaan yang sudah kamu beri ke saya.”

“Kebahagiaan apa?”

“Kamu tersenyum saja sudah lebih dari cukup untuk membuat saya bahagia, Mai.”

Pipi Maira merona.

Saat Nino hendak menyuapi lagi, Maira menggeleng. “Sudah, No. Saya sudah kenyang.”

“Benar? Baru makan sedikit loh kamu.”

“Saya beneran kenyang.”

“Ikannya saja ya?”

“Tidak mau.”

Nino tersenyum. “Ya sudah, saya yang habisin. Kamu minum dulu.”

Maira mengangguk. Setelah minum ia kembali menyuapi Nino hingga makanan di piring mereka benar-benar bersih. Maira juga membersihkan sekitar bibir suaminya yang belepotan. “Seperti anak kecil saja,” cibirnya.

Nino tersenyum. “Saya mah rela jadi anak kecilmu setiap waktu, Mai.”

“Akan saya lakukan kalau itu maumu.”

Nino berbinar. “Benar?”

“He em.”

Nino membantu Maira membawa peralatan makan mereka dan membantu perempuan itu mencuci piring sekalian cuci tangan.

“Maira?”

“Ya?”

“Bagaimana kalau besok kita jalan-jalan?”

“Boleh. Jalan-jalan ke mana?”

“Ke mana saja, sesuai keinginanmu.”

“Memang anak-anak pulang jam berapa?”

“Mungkin sore.”

Maira manggut-manggut.

“Oh iya tapi besok masih puasa, nanti kamu capek.”

Maira tersenyum. “Bagaimana kalau jalan-jalan di mall saja? Hanya jalan-jalan dan menonton film? Boleh?”

“Tentu saja, Sayang.”

Setelah cukup waktu mereka pun sikat gigi, cuci muka, dan berwudhu.

TBC

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang