72 : Sebatas perkenalan

72 11 0
                                    

“APA YANG KAMU LAKUIN, SAYANG!?”

“KAMU MAU APA!?”

“INI MAKSUDNYA APA?!”

Maira beringsut takut. Seumur-umur, ini kali pertama Radeva memarahinya. Ia menutup muka dan mulai menangis tersedu-sedu.

Radeva yang tersadar langsung mendekat dan memeluk Maira dengan erat. Ia ikut menangis. Menyesal karena sudah membentak istrinya. “Maaf, aku nggak bermaksud buat bentak kamu… ”

Maira menggeleng. “Aku nggak mau kamu sakit… ” isaknya.

Ia tau jelas kalau hemodialisis tidak akan bisa menyembuhkan suaminya. Hemodialisis hanya akan memperpanjang masa hidup suaminya saja. Itupun kalau dialisis, obat, juga pola hidup, semuanya bisa dijalankan dengan benar.

Radeva menggeleng. “Kamu nggak perlu lakuin itu. Aku nggak papa. Aku pasti bisa sembuh. Kamu dan anak-anak selalu ada buat aku, itu udah lebih dari cukup buat jadi alasan aku bisa sembuh.”

“Aku mau transplantasi ginjal buat kamu… Tapi sayang ginjal kita nggak cocok hiks… ”

Radeva menggeleng.

Maira kembali menangis. “Aku bisa hidup dengan satu ginjal, tapi aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Dev… ”

Radeva menggeleng. Ia gendong Maira ke tempat tidur dan meminta perempuan itu untuk tidur saja. Ia tau Maira pasti lelah. Maira yang terus menangis pun akhirnya tertidur.

Radeva diam mengamati wajah sembab istrinya yang sudah terlelap. Disekanya beberapa bulir air mata yang masih mengalir jatuh dari sudut mata Maira. Dikecupnya kedua kelopak mata perempuan itu. “Maaf, aku udah buat kamu nangis.”

Radeva bangun dan minum obatnya, lalu merebahkan diri di tempat tidur sambil memeluk istrinya dengan erat. Ia usap-usap kepala perempuan itu, sesekali dikecupnya dalam-dalam.

“Aku juga nggak mau kalau seandainya harus pergi dari kamu, Hasbi, sama Haura. Aku masih mau menua sama kamu. Sama anak cucu kita juga,” lirihnya.

☁️☁️☁️

Malam setelah kejadian keributan kecil tentang uji lab kecocokan ginjal, Radeva dan keluarga kecilnya menginap di rumah orangtua Maira. Tapi sore ini mereka sudah beres-beres dan bersiap pulang ke rumah Zulaikha untuk ganti bermalam di rumah wanita itu.

Saat Maira mencuci peralatan makan Haura, tak sengaja Maira melihat ponsel Bundanya tergeletak di atas meja makan. Layar ponsel itu menyala. Ada pesan lagi dari seseorang. Tanpa nama, hanya nomor tak dikenal saja. Tapi Maira hafal nomor itu. Itu nomor telfon laki-laki yang sangat ia benci.

“Lagi apa, Mai?”

Maira mendongak. “Cuci alat makannya Haura, Bunda.”

Fatima manggut-manggut dan mengambil ponselnya, lalu mulai sibuk berkutat dengan ponsel itu. Maira mengernyit tak suka.

“Bunda masih contact-an sama Om Herman?”

“Ngomong apa sih kamu?!”

“Bunda, tinggalin itu semua. Itu dosa, Bunda.” Maira mencoba menasihati Bundanya secara baik-baik. Tapi Fatima justru makin naik pitam.

“Jangan ikut campur urusan Bunda!”

Maira menghela napas. “Maira cuma nggak mauㅡ”

“UDAH, DIEM!”

“KAMU ITU YA! SOK-SOKAN  NGAJARIN! UDAH NGERASA JADI YANG PALING BENER GITU?! EMANGNYA KAMU UDAH BAIK GITU, HAH?!”

Maira beringsut takut.

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang