59 : Anak tak berguna

76 8 0
                                    

Berhubung hari ini hari minggu, seharusnya jadwal Maira memang libur. Tapi karena salah satu dokter senior ada kepentingan dadakan yang tak bisa ditunda akhirnya meminta bantuan Maira menggantikan dirinya sebentar di pagi hari.

Berhubung Chiko sudah pulang dijemput Radeva pagi tadi, Maira pun mengiyakan permintaan seniornya. Toh ia juga masih dokter junior. Tak heran kalau harus kerja melebihi jam jadwal.

Jadi pagi ini, Maira memeriksa satu demi satu pasiennya. Masih pagi dan ia sudah sangat sibuk. Sampai-sampai apa yang ia alami akhir-akhir ini tak sedikitpun terlintas di benaknya. Dokter muda itu sibuk menangani pasien-pasiennya dengan senang hati.

Maira termasuk dokter baru yang banyak disayangi orang-orang rumah sakit. Sikap hangatnya tentu membuat banyak orang jadi nyaman bersamanya.

“Kakak Dokter?”

“Ya, Sayang?” Sembari memeriksa detak jantung pasiennya yang tipes, Maira tersenyum dan menatap anak sembilan tahun bernama Bunga itu.

Kedua mata anak itu berkaca-kaca. “Kak, aku nggak mau sembuh.”

“Loh kenapa, Sayang?”

“Aku masih mau sama Kak Maira.”

Maira memeluk Bunga. Diusap-usapnya kepala gadis kecil itu. “Nanti-nanti kita kan bisa ketemu lagi, Sayang.”

Bunga menangis di pelukan Maira. “Orangtuaku jahat, Kak. Mereka suka mukulin aku,” isaknya membuat Maira terdiam.

Maira memeriksa lengan Bunga. Benar saja, ada beberapa luka lebam di sana. Maira mengerjap-ngerjapkan kedua matanya yang berair. Ia pernah di posisi Bunga. Ia merasa miris menyadari ada banyaknya kasus kekerasan pada anak.

“Orangtuamu mana, Sayang?”

Bunga menggeleng.

Maira pun pamit pada Bunga dan menuju resepsionis untuk meminta data tentang orangtua Bunga. Ia menghubungi orangtua anak itu agar menemuinya. Orangtua Bunga pun datang.

“Maaf, Pak, Buk. Kalau boleh tau ini luka karena apa ya?” tanya Maira sembari menunjukkan lebam di lengan Bunga.

Mama Bunga menggeleng. “Itu bekas dipukul temannya, Dok. Biasalah, anak kecil suka mukul-mukul,” jawabnya enteng.

Maira beralih menatap Bunga. Anak itu menatapnya sangat sedih. Seperti halnya sedang meminta bantuan padanya. Maira tersenyum. “Lain kali hati-hati ya, Sayang?”

Bunga mengangguk.

Maira tak bisa apa-apa untuk saat ini. Ia pura-pura bodoh agar orangtua Bunga tak sadar bahwa ia sudah tau tentang perlakuan kasar mereka, karena bisa jadi saat di rumah nanti Bunga justru akan mendapat perlakuan yang lebih kasar lagi.

Maira pun pamit untuk memeriksa pasien-pasien yang lain. Namun diam-diam tadi ia sudah memberikan nomor telfonnya pada Bunga kalau seandainya anak itu butuh bantuan. Ia akan berusaha membantu semampunya.

“Dokter Maira?”

Maira menoleh.

Seorang dokter bedah berlari di koridor dan menghampiri Maira. Laki-laki itu tersenyum. “Sudah sarapan?” tanyanya ramah.

Maira mengangguk. “Sudah, Dok.”

Dokter senior bernama Adnan itu menghela napas kecewa. Pupus sudah harapannya mendekati Maira.

🌼🌼🌼

Melihat Kakaknya yang sedang sibuk scroll-scroll layar iPad untuk mencari tempat-tempat romantis, Radeva berdecak. Ia masih diam mengamati. Tampaknya Abel tak menyadari keberadaannya.

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang