85 : Bunga tidur

84 10 0
                                    

Sepulang dari pemakaman, Maira mengunci diri di dalam kamar. Perempuan itu masih tak menyangka dengan yang baru saja ia alami. Apalagi Radeva sudah menemaninya selama delapan belas tahun terakhir, sudah lebih dari setengah hidupnya dihabiskan bersama laki-laki itu.

Maira diam terpaku menatap sajadah kosong di sebelahnya. Tadi pagi Radeva masih menempati alas suci itu dan memeluknya, lalu sekarang… dirinya seorang diri. Dan hari-hari kedepan, juga akan seperti itu.

Pelan-pelan Maira rebahkan diri ke atas sajadah, menghadap sajadah Radeva. Ia sentuh kain lembut itu. Maira tersenyum. “Aku selalu doa ke Allah biar kita pulang bareng. Tapi pasti… Allah punya rencana yang lain.”

Maira usap-usap perutnya. Perempuan bermukena hitam serta tasbih warna serupa itu semakin pucat, pun tubuhnya semakin lemah. Ia baru ingat jika ada kehidupan di dalam perutnya yang harus ia pikirkan juga.

“Maafin Bunda… ”

Maira kembali menangis, hingga lama-kelamaan pandangannya mulai menggelap.

🥀

Maira refleks menyipit saat cahaya yang begitu terang memaksa masuk ke matanya. Cahaya itu seperti membentuk sebuah pintu. Dan yang menakjubkan, seseorang berjalan keluar dari sana. Seorang laki-laki berpakaian serba putih dengan wajah berseri-seri.

“Assalamualaikum, Maira.”

Maira membelalak.

“Radeva?”

Maira langsung berlari menubruk dada bidang Radeva dan memeluk laki-laki itu begitu erat, seolah tak akan membiarkan Radeva pergi meski sedetik saja. Maira menangis. “Kamu nggak boleh pergi, Dev… Nggak bolehh hikss… ”

Radeva membalas pelukan Maira dan mencium puncak kepala istrinya.

“Devv, aku mau ikut kamuu,” rengek Maira.

Radeva tersenyum. Ditangkupnya kedua pipi Maira dan berkata ia dengan begitu lembut. “Maira, ada anak-anak kita yang masih butuh kamu.”

Maira masih saja menangis dan menatap kedua manik mata suaminya. Maira tak bohong, Radeva terlihat sangat bercahaya. Dengan lembut Maira sentuh rahang sang suami. “Kita juga butuh kamu, Dev… ” lirihnya.

Masih dengan senyum yang sama, Radeva mengusap-usap kepala Maira. “Selalu husnudzon sama Allah ya, Sayang? Kamu perempuan yang kuat. Kamu pasti bisa lewati ini semua.”

Maira menangis lagi.

“Aku pamit dulu ya, Sayang? Jangan terus-terusan sedih ya? Aku sayang kalian.”

“Jangan pergi, Dev… ”

“Aku akan selalu tunggu kamu, Mai. Mari bertemu lagi di surga, Sayang.”

Keduanya saling mengeratkan pelukan satu sama lain untuk beberapa saat, lalu saling mengurainya. Maira menatap laki-lakinya lamat-lamat, menyimpannya dengan baik dalam memori meski saat itu hanya sekadar mimpi.

Maira meraih tangan kanan Radeva dan mencium punggung tangan lelaki itu cukup lama. “Terima kasih untuk semuanya, Dev. Aku akan jaga anak-anak. Sampai jumpa di surga, Sayang,” lirihnya.

Radeva mengangguk dan mengusap-usap ubun-ubun Maira. “Terima kasih kembali, Sayang,” ucapnya lalu balas mencium punggung tangan istrinya. Dengan berat hati akhirnya Maira mau melepaskan Radeva.

Keduanya tersenyum.

Radeva kembali menuju pintu cahaya tadi. Namun satu langkah sebelum menuju cahaya, Radeva berbalik badan dan mengulas senyum terindahnya.

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang