13. Aneh [Revisi]

147 17 0
                                    


13. ANEH

"Ada masalah? Cerita aja, biar aku dengarkan, Ka."

Raka tersenyum penuh makna mendengar kalimat itu. "Kamu mulai perhatian yaa.. Udah mulai ada rasa?"

Seketika Tara mendorong Raka dari hadapannya. "Apaan sih?"

"Jujur aja sih, kamu mulai sayang aku kan?" Goda Raka. Tak mau kalah, ia kembali memeluk Tara erat. "Ayo bilang iya! Iya sayang! Gitu, ayo?"

"Nggak!"

"Iya!"

"Nggak! Hih lepaaas!" Merasa puas menggoda Tara, akhirnya Raka mengalah. Wanita itu tetap terlihat cantik meski dalam keadaan kesal sekalipun.

Setelah berhasil keluar dari kukungan Raka, Tara membuatkan segelas kopi untuk ia hidangkan kepada Raka bersama setoples cookies cokelat .

Sebagai tuan rumah, ia tentu di ajari cara melayani tamu dengan baik oleh kedua orang tuanya. "Minum dulu, kamu tadi kayak nggak punya semangat hidup pas datang kesini!" Ledek Tara setelah menyodorkan kopi hitam buatannya.

"Aku kepikiran Lava. Lagi sedih juga, isteriku dua-duanya abis ketemuan sama mantan.."

Hampir saja Tara tersedak ludahnya sendiri begitu mendengar ucapan Raka. "Apa-apa? Gimana maksudnya tadi?" Tanya Tara ulang dengan raut polosnya.

"Kalian semua jahat!"

"Jahat gimana?"

"Coba kamu pikir sendiri! Jangan sok polos begitu mentang-mentang habis ketemu mantan!"

Tara sedikit terperangah melihat kekesalan dalam nada bicara Raka. Apa aku juga bikin dia kesel? Tapi kan aku udah bilang..

"Kok malah diem aja? Ceritain! Ngapain sama mantan kepantai segala? Sampe-sampe ketemu ibu mertua!" Oceh Raka sewot. Yang malah terlihat semakin asing dimata Tara. Selama ini ia berhadapan dengan Raka yanh serius dan pendiam. Siapa sangka lelaki itu memiliki rasa kurang percaya diri yang tinggi?

"Tama minta maaf,"

"Itu udah pasti! Yang lain!" Potong Raka sebelum Tara melanjutkan kalimatnya. Lagi, Tara hanya menghela nafas panjang karena itu.

"Dia minta maaf untuk hal lain juga. Sampai hari ini, dia belum bisa jujur dengan keluarganya perihal putusnya hubungan kami." Tara melirik Raka sebentar sebelum melanjutkan ceritanya. Melihat Raka masih tenang, ia pun kembali melanjutkan.

"Dia bilang, perlu alasan yang besar untuk keputusan kami. Karena bukan cuma kita aja yang berhubungan, tetapi keluarga juga bisnis. Aku tahu, dari dulu Pak Adam nggak setuju kalau Tama dengan pacarnya itu. Mungkin itu juga alasannya Tama masih menyembunyikan status kita."

"Pengecut!" Desis Raka sinis.

Tara tidak berani menimpali. Ia sedikit setuju untuk itu, walau dalam hati kecilnya ia juga bahagia. Karena sampai detik ini, belum ada yang bisa mengalahkan posisinya dalam keluarga Tama. Keluarga Tama bukan keluarga biasa, dalam mencari pendamping untuk keturunan Adam pastilah mereka mempertimbangkan bibit dan bobot calonnya.

Dan perlu di ingat, Tara sangat menginginkan Tama. Baik dan buruknya, Tara masih menginginkan Tama.

"Kamu harus ingat, kamu milik aku. Dia nggak boleh sentuh kamu seujung kuku pun!"

"Tama bukan orang seperti itu. Kalau dia mau, sudah sejak dulu ia melakukannya." Bela Tara.

"Kamu harus tetap waspada, Tara! Tama tetap manusia, dan dia seorang lelaki! Kapan aja bisa berubah!"

Dan aku selalu menunggu perubahan itu Ka. Walaupun mungkin  semuanya sudah terlambat.

"Oh ya, tadi kamu dari mana? Masalah Lava belum beres?" Tara tidak suka jika pembicaraan mereka masih berlanjut dengan pembahasan Tama. Meski malas, Lava boleh juga dijadikan topik pembicaraan.

"Masih belum kelar. Ayah malam ini kesana, masalahnya nggak akan beres kalau cuma manager Lava yang menghandle."

"Ayah kesana? Maksud kamu terbang ke Paris? Memangnya sampai separah itu ya masalahnya? Sampai-sampai Om Andra harus kesana hari ini juga?"

Tara tidak tahu pasti dan sebenarnya tidak ingin tahu masalah apa yang sedang menyandung adik Raka. Ia hanya sedikit bersimpati saja dengan Raka dan orang tuanya, ingat, sedikit! Tara selalu malas kalau sudah menyangkut Lava.

"Ami kabarin kita, Lava masuk rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata dia hamil dan kesehatannya sempat memburuk."

"Hamil? Bukannya Lava belum menikah?" Pertanyaan bodoh. Tara baru menyadarinya. Ya, kalau Lava sudah menikah. Om Andra dan Tama pasti tidak akan sepusing ini.

"Papa sedang menyelidiki. Karena Lava tidak mau buka mulut.." Gumam Raka lemah.

"Em.. Lava masih jadi model nggak sih?" Cicit Tara. Ia tahu dunia model, bahkan dulu Tara sempat menjelajahi meski sebentar. Karena ada beberapa hal yang tidak nyaman, Tara memustuskan untuk beralih ke desainer.

"Aku sudah cari, tapi setahun terakhir Lava membuka butik sendiri."

Same? Again?  Tara ingin sekali protes, kenapa Lava seolah mengikuti jejak hidupnya?

"Em.. kalian juga baru tahu?"

"Aku yang baru tahu, kamu kan paham aku sangat cuek dengan mereka. Mungkin ini juga salahku yang tidak memantau Lava dengan baik."

Sekarang, Tara merasa terharu. Raka adalah sosok yang baik, tidak aneh-aneh dan selalu mengikuti aturan. Kenapa pula ia ditakdirkan menjadi Kakak seorang Lava? Yang ia tahu liciknya luar biasa.

"Bukan salah kamu sepenuhnya. Lava sudah besar, ia yang bertanggung jawab atas pilihannya, Ka." Hibur Tara.

"Tapi aku merasa gagal sebagai Kakaknya, Ra."

"Raka, dengar! Apapun yang terjadi, itu adalah takdir. Bukan kesalahanmu. Aku yakin, Lava punya alasan kenapa sampai semua ini terjadi dengan dirinya." Sebagai lawan nyata Lava, ia paham betul karakter gadis itu. Meski terkesan liar dan nekat, Lava tidaklah murahan. Lava tidak akan melakukan sesuatu jika ia tidak menginginkan hal itu. Hampir sama seperti dirinya.

"Begitu?" Tanya Raka lirih.

"Ya!" Balas Tara yakin.

"Jadi, kamu bersyukurkah menjadi isteriku? Bukankah ini takdir?"

Tara tersenyum sinis. Didekatkan bibirnya dengan telinga Raka secara perlahan. Tubuh mereka sangat dekat namun tidak menempel. "Aku bersyukur karena aku bisa membantu Nisa dan kamu. Bukan untuk menjadi isterimu! Satu hal lagi yang perlu kamu ingat, ini tidak akan lama Raka. Perpisahan sudah terjadwal 10 bulan dari.. sekarang!"

Raka berdiri kaget. "Maksud kamu?"

Perlahan sembari mengibaskan rambut panjangnya, Tara menarik Raka dalam pelukan. "Jangan terbawa suasana, Ka. Jangan buat aku menetap disini." Bisik Tara sembari mengusap dada Raka yang terbalut kaos putihnya.

"Kenapa? Kamu sendiri yang bilang sayang dengan Nisa dan akan berbagi apapun jika itu dengan Nisa?"

"Nggak semudah itu, Rakaa!"

Dengan cekatan, Raka tarik tubuh Tara kembali dalam dekapannya. "Kalau gitu malam ini aja yang kita buat mudah." Bisiknya sensual.

"Raka!"

"Aku kangenn.."

***

SALAH RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang