17.Keras [Revisi]

121 14 0
                                    

17. KERAS

Dinda terus memperhatikan bosnya yang duduk termenung sejak tadi. Menurut Dinda, semakin hari Tara terlihat semakin pendiam saja. Tidak seaktif dulu, padahal pelanggan tidak berkurang setiap harinya.

"Mbak Tara, apa masih nggak enak badan?" Tanya Dinda perhatian, sekaligus khawatir.

Ditanya seperti itu, Tara malah memanyunkan bibirnya. "Aku lagi kesel Din, kok ada ya, manusia kaya Raka? Hidup lagi!"

"Maksudnya, mbak?"

"Raka tuh nyebelin banget tau nggak Din! Semalem datang ke apartement, curhat, giliran di kasih saran dianya nggak mau. Giliran gue biarin, katanya gue sama aja kayak Nisa! Gila kan?"

Tara mengibaskan rambutnya kebelakang begitu selesai dengan celotehannya. Ternyata begitu lega bisa membagi beban yang mengganjal di hati. Akibat kedongkolannya, ia memang tidak fokus sejak tadi.

"Mas Raka sama Mbak Nisa berantem lagi mbak?" Otak Dinda sudah mulai paham, ternyata bos nya begini karena Mas Raka.

"Yaa, kan manusia ribet mereka itu. Aku pusing karena berurusan dengan mereka!" Jawab Tara malas.

Dinda hendak kembali membuka mulut namun ia urungkan begitu mendengar suara pintu butik terbuka.

"Assalamualaikum..."

Langkah Ayu mengalun lembut begitu masukke dalam butik bersama Rafa dalam gendongannya. Balita itu melonjak kegirangan begitu melihat kehadiran Tara dan Dinda.

"Tetettee...." Dengan senang hati Dinda mengambil Rafa dari gendongan ibunya. Menciumi bayi gembul itu meski sang empu berusaha mengelak.

"Uuhhh dedek ganteng tayang.."

"Maaf ya mbak, aku sampe sini agak siangan. Tadi mampir dulu ke tempat Mas Dana, dompet dia ketinggalan dirumah."

"Duh kalo masalah pikunnya Dana udah akut banget, Yu!" Kelakar Tara maklum. Sebagai kakak, ia sangat tahu kebiasaan Dana. Bahkan dulu ia juga korban yang sering direpotkan.

"Kayaknya bukannya sembuh, kalau sekarang lumayan parah deh mbak." Tambah Ayu. Lalu keduanya tertawa bersama, Tara merangkul tubuh pendek Ayu. "Kamu kurusan deh, Yu?" Celetuk Tara. Lalu ia teringat, Nisa juga lebih kurus sekarang. Kenapa mereka yang menikah kok berubah jadi kurus? Apa pernikahan itu berat?

"Masa sih mbak?" Tanya Ayu tak percaya. Pasalnya, sejak kelahiran Rafa nafsu makannya lumayan banyak. Ditambah lagi Rafa yang meminum Asinya, semua makanan masuk dalam perut Ayu.

"Iya, tulang-tulangnya terasaa.."

"Ahh embak, bisa ajaaa.."

Ayu menggeleng sambil tertawa kecil, menganggap perkataan Tara adalah candaan. Dengan langkah ringan, Ayu pun mengamati keadaan butik yang hampir tiga tahun ini ia tinggalkan. Ayu senang, ia senang membantu Tara lagi.

Tetapi tidak dengan Tara, ia mulai berpikir serius. Tara bahkan merasa sendu sekarang, ia jadi tidak tega  menitipkan butiknya pada Ayu, itu artinya Ayu akan semakin sibuk. Apakah tidak apa-apa? Bagaimana kalau nanti Ayu sakit? Ayu kan juga mengurus Rafa dan Dana sekarang.

Tapi, Tara harus bagaimana? Ia tidak memiliki orang lain yang ia percaya untuk mengelola butiknya selama ia pergi nanti.

"Yu..."

"Ya, mbak?"

"Bisa temani mbak?"

"Kemana mbak? Ayo?"

"Ke rumah sakit. Mbak ingin menjenguk Ciara, mungkin Nisa juga masih disana."

"Ciara?" Tanya Ayu tak paham.

"Mbak juga belum pernah bertemu, makanya mbak ngajak kamu. Tadi pagi, mbak udah ngajakin Raka kesana bareng, tapi Raka nggak mau." Adu Tara kesal.

Menurut Tara, seharusnya Raka tidak perlu kekanakan. Jika Raka mengkhawatirkan Nisa, kalau-kalau Charles akan macam-macam, tinggal Raka ikut Nisa kerumah sakit saja. Mereka menjenguk bersama, maka masalah selesai. Mereka tidak perlu berdebat dan bertengkar, lalu Raka juga bisa tetap mengawasi Nisa.

"Huhh.. Dasar pasangan labil!"

"Eh?.."

Dinda dan Ayu menatap Tara penuh tanya, bersamaan.

***

Charles sedang menyuapi Ciara ketika pintu rawat inap terbuka begitu pelan. Keduanya menatap wanita yang tak asing lagi bagi mereka, kini melangkah memasuki ruangan.

"Selamat siang..." Sapa wanita itu.

"Kamu datang lagi?"

Nisa mengulum senyum manisnya. "Apa aku tidak boleh datang lagi?" Nisa merubah rautnya seolah sedih.

"Kamu tahu kita sangat senang atas kehadiranmu, Nisa. Benar kan Cia?"

Ciara mengangguk lalu tersenyum lebar. Ia telah menyukai Nisa sejak pertama kali Charles mengenalkan padanya. Sayang sekali, Melody mamanya tidak menyukai Nisa bahkan tidak memperbolehkan dirinya untuk bertemu Nisa.

"Aunt, aku sangat beruntung bisa melihatmu lagi." Ucap Cia tulus, bahkan matanya berkaca-kaca melihat kehadiran Nisa di sana. Kemarin, saat Papanya bilang Nisa menjenguk Cia, gadis itu masih belum sadar.

"Peluk aunt?" Tawar Nisa yang langsung di anggukan senang oleh Cia. segera Nisa melangkah mendekati brankar, ia menyodorkan  tas dan kotak makanan yang dibawanya pada Charles, lalu menghamburkan tubuhnya memeluk Ciara. "Aunt sangat lega, Cia baik-baik aja. terimakasih.. Terimakasih.."

"Aunt.. i miss you so bad."

"Aunt, juga. Aunt sangat khawatir saat papamu bilang kamu kecelakaan. Aunt sangat takut.."

"Tidak apa-apa aunt.. Cia baik-baik saja. Hanya sedikit nyeri di kaki kananku."

"Kamu tenang saja, setelah minum obat lukanya akan segera membaik. karena kamu gadis yang kuat dan hebat.." Ciara terkekeh geli mendengar itu. Dan kekehannya berubah menjadi tawa karena Nisa menciumi seluruh wajahnya.

Moment itu tidak luput dari tatapan Charles. Betapa kedua perempuan itu memeluk penuh kasih, seolah menunjukkan betapa keduanya sangat menyangi dengan tulus.

Charles memang berencana mengambil Nisa dari Raka jika Nisa tidak bahagia dengan pernikahannya. Tetapi bukan sekarang waktunya, Charles tidak menduga jika bahkan sebelum ia bergerak Nisa sudah lebih dulu melangkah ke arahnya. Yang Charles tahu, Nisa tidak memiliki masalah dengan pernikahannya, yang kini baru ia sadari bahwa itu adalah kesalahan. Tubuh kurus Nisa bisa menjelaskan segalanya.

Ceklekk...!

Di antara moment indah itu, pintu ruang perawatan kembali terbuka. Kali ini, dua perempuan berdiri disana dengan raut bingung yang jelas.

"Nis, kamu masih disini?" Tara tidak bisa untuk tidak terkejut melihat adegan dihadapannya. Di mana Charles duduk dikursi mengamati dengan penuh cinta dua perempuan tengah bercanda ria di atas brankar. Cocok sekali disebut gambaran keluarga yang sempurna, andai mereka adalah keluarga.

Pantas saja Raka selalu sensitive setiap kali membahas Charles, Tara bisa lihat tatapan penuh puja itu ada disana. Terpancar penuh untuk Nisa. Tatapan yang tidak pernah Tara lihat di mata Raka, untuk istrinya sendiri.

"Tara?"

"Assalamualaikum mbak.." Suara lembut milik Ayu menyusul, sedikit mengurai kekakuan saat mereka melihat kedatangan Tara.

"Walaikumsalam.." Jawab Nisa semangat.

"Hai.." Di antara kemalut isi kepalanya, Tara tersenyum. Tipis. Sangat tipis.

***

SALAH RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang