14. SAKIT***
Tara hanya menyandarkan tubuhnya di sofa sejak pagi. Beberapa hari ini ia merasa tubuhnya sering lemas tanpa alasan. Ia juga sering dilanda mengantuk sehingga Dinda mulai kewalahan mengurusi butik sendirian.
"Mbak, diminum dulu teh nya. Mba dari pagi juga belum makan nasi loh." Cicit Dinda khawatir.
Tara hanya tersenyum lemah. Ia merasa tidak enak dengan Dinda yang semakin lama lebih kerepotan karena kondisinya kurang fit. Sebenarnya Tara berpikir untuk menambah karyawan agar Dinda tidak kerepotan, tetapi gadis itu selalu menolak. Tidak suka dengan orang baru katanya.
"Din.." Panggil Tara lirih, membuat Dinda menghentikan kegiatannya dan beralih duduk di samping Tara.
"Mbak tambah satu karyawan ya? Kasihan kamu kalau sendiri terus begini.."
"Nggak usah mbak, ya ampun begini doang mah Dinda bisa! Lagian kan ada mbak yang sering bantu." Jawab Dinda dengan bibir mengerucut lucu.
"Tapi mbak jarang bisa bantu kamu sekarang kan?"
"Nggak masalah mbak!"
"Mmm.. kalau Ayu yang bantu gimana Din?" Tawar Tara. Ia memiliki ide lain sekarang.
"Mba Ayu siapa?"
"Isterinya Dana, mamanya Rafa. Kamu pasti kenal, dia bukan orang asing kan?"
Sejenak, Dinda diam. Mungkin hendak menolak tetapi urung mengingat Ayu adalah adik ipar Tara. "Ayu kerjanya cekatan. Dulu pernah bantu mbak sebelum hamil Rafa. Mba rasa Rafa sudah bisa di ajak kerja, biar sekalian ada yang ramein butik."
Dinda terlihat kembali berfikir. "Memangnya.. Mba Ayu mau mba?"
"Kalau seandainya dia mau? Kamu juga mau kan?"
"Emm.. " Malu-malu, Dinda mengangguk. "Mau deh mbak, aku kan kenal sama Mba Ayu, he he he"
Tara merasa lega sekarang. Tinggal menghubungi Ayu dan semua sudah siap untuk ia tinggalkan.
Demi membantu Nisa, ia tidak bisa terus menetap di Jakarta. Hamil tanpa suami yang jelas akan menjadi perkara di Negara ini. Dan membeberkan bahwa ia isteri kedua Raka adalah hal terakhir yang ia inginkan didunia ini. Sampai kapanpun, ia tidak ingin ada yang mengetahuinya selain saksi pernikahan mereka.
***
Tara langsung menuju rumah Dana begitu Dinda setuju untuk menjadikan Ayu partner mereka. Meski ia bebas melakukan apapun pada butiknya, Dinda tetaplah karyawan yang pendapatnya harus dipertimbangkan. Selain saling menghargai, Tara juga menjaga agar kenyamanan kerja Dinda tetap terjaga.
"Sampai sini aja, Pak." Ujar Tara begitu taksi yang di tumpanginya tiba di depan halaman rumah Dana.
Tara menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. "Ini Pak, kembaliannya buat bapak aja."
"Terimakasih banyak ya mbak cantik.."
"Sama-sama Pak."
"Nteeeetetetee" Suara cedal Rafa langsung menyambut begitu Tara berbalik. Rafa mungil berdiri didepan pintu dengan mengenakan diapers dan kaos pendek.
Tara bergegas menuju bocah kecil itu dan membawanya dalam pelukan. Wangi bedak bayi langsung menyeruak dalam indera penciuman Tara. Membuat Tara mulai membayangkan, mungkin setiap hari ia akan menghirup aroma ini jika kelak ia memiliki bayi.
"Mbak Tara?"
"Hai dek.."
Ayu langsung memeriksa keluar mendengar suara Tara. Dan benar saja kakak iparnya datang. "Mbak sama siapa? Kok tumben nggak bilang-bilang dulu kalau mau kesini?"
"Mba cuma mampir Yu, sekalian ada yang ingin mbak bicarakan sama kamu."
"Ayo masuk dulu mbak. Aku buatkan teh hangat ya?" Tawar Ayu antusias.
"Boleh.."
Tara melihat gerakan Ayu yang begitu cekatan. Ia bersyukur adiknya memiliki isteri semandiri Ayu. Meski dari keluarga yang cukup berada, Ayu selalu sederhana. Dengan penampilan sederhana namun terlihat anggun, gaya hidup sederhana, bahkan menurut saat Dana memintanya untuk dirumah saja sejak mereka menikah.
"Mbak, tadi aku buat keripik. Cobain deh mbak.."
"Iya Yu.."
"Oh iya mbak, tadi katanya bicara sama aku. Ada apa mbak?"
Tara meletakkan segelas teh ditangannya setelah menyesapnya sedikit. "Bantuin mbak di butik ya, Yu? Nanti mbak yang izinin ke Dana. Dinda kerepotan kalau sendiri.."
"Lho? Memangnya kenapa mbak? Apa mba buka cabang?"
Tara tersenyum kecil sembari menggeleng. "Mbak mau ke Paris. Ada kepentingan, paling tidak untuk satu tahun kedepan."
Ayu menatap kakak iparnya tak percaya. "Mbak serius?"
"Ya. Mbak nggak pernah seserius ini."
***
"Mbak.. apapun alasan mbak melakukan semua ini, Ayu percaya pasti mbak sudah tahu konsekuensinya. Kita sebagai manusia, bukan hanya bertanggung jawab atas diri kita sendiri mbak. Kalau kelak mbak punya anak dengan Mas Raka, mbak bertanggung jawab atas dia. Kebahagiaan dan kesedihannya."
Nasihat Ayu masih terus terngingang-ngiang di kepala Tara. "Mbak bertanggung jawab atas kesedihan dan kebahagiaannya." Tara tidak begitu paham dengan maksud Ayu. Mungkin karena Ayu telah menjadi seorang ibu, makanya cara berfikir Ayu lebih rumit darinya.
Dan sekarang Tara tidak tahu hendak kemana. Hari telah sore, tapi ia enggan kembali ke apartement dan berujung sendirian. Lagi.
Tiba-tiba Plang jalan menuju rumah Raka dan Nisa terlewati. Tara baru ingat rumah mereka dekat dengan rumah Dana.
"Pak, putar balik Pak. Kita ke jalan Kenanga nomor 27."
"Siap mbak.."
Tiba-tiba semangat Tara kembali naik. Bertemu Nisa pasti menyenangkan, ia bisa mengajak Nisa marathon nonton drakor. Atau bereksplorasi di dapur? Bagusnya lagi kalau Nisa mengundang Satria, Galuh dan Bian. Ah, pasti sangat seru. Sudah lama ia tidak berkumpul dengan mereka.
Tara berlari dengan semangat begitu turun dari taksi. Ia hendak memencet bel namun pintu telah terbuka lebih dulu dengan kasar.
Sosok kurus Nisa berlari keluar dengan keadaan kacau dan air mata membasahi pipinya.
"N-nisa? A-appa yang ter-,"
"Nisa jangan pergi! Aku suami kamu, kamu sangat durhaka jika tidak mendengarkanku, Nisa!" Raung Raka terdengar mengerikan dari luar.
Tara sampai mundur beberapa langkah mendengar suara itu. Ada apa ini? Batinnya bingung.
"TARA, tolong tahan Raka! Aku harus pergi!" Pamit Nisa sebelum masuk ke dalam mobilnya.
Tara masih belum bisa memahami keadaan ketika Raka berlari menyusul dengan raut marah dan sempat menabrak Tara hingga tersungkur. Tetapi lelaki itu seakan tidak menyadari dan langsung memasuki mobilnya.
Mobil keduanya melesat dengan kecepatan tinggi. Sementara Tara seperti orang bodoh yang duduk didepan rumah mereka. Tara masih belum bergerak barang sedikitpun. Lututnya sakit, tangannya yang menyangga di lantai kasar juga sakit. Telapak tangan mulusnya sepertinya lecet.
Bayangan menghabiskan hari dengan bersenang-senang bersama mereka hancur begitu saja. Sekarang, tiba-tiba Tara ingin segera kembali pulang.
Ternyata tidak ada yang lebih baik dan nyaman dari pada apartementnya yang sepi itu. Setidaknya, di apartemennya Tara tidak akan lecet jika pun jatuh tersungkur.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SALAH RASA
RomanceRasa cinta bisa membuat dunia kita lebih berwarna. Tapi kalau jatuhnya pada orang yang salah, apakah cinta akan tetap indah? #27 Oktober 2021