***
Semilir angin berhembus sangat sejuk. Menemani Raka mengunjungi makam sang istri untuk pertama kalinya.
Sudah satu bulan berlalu. Dan baru sekarang Raka menginjakkan kakinya ditanah pemakan. Sengaja. Ada banyak hal yang harus ia lakukan sebelum ini, termasuk memulihkan kesehatannya.
"Hai, sayang?"
Tidak ada jawaban. Batu nisan tidak memiliki mulut dan suara. Tanah-tanah liat dan rumput juga tidak menjawabnya. Raga-raga yang terkubur pun telah tertidur.
Raka tidak bicara lagi. Jika dipikir, ia pasti mirip orang bodoh jika melakukannya. Ia hela nafas panjang, sembari meraba perasaan apa yang tengah merasukinya sekarang.
Rasa bersalah dan kasihan.
Keduanya begitu dominan bermain didadanya. Sudahkah ia berhasil membahagiakan Nisa? Raka menyesalkan ini jika belum. Waktu dan kasih sayang sudah ia limpahkan begitu banyak meskipun hatinya masih sering terbayang akan Tara. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Dan sudah Raka habiskan bersama wanita itu.
Drtt.. drrttt...
Suara dering ponsel mengganggu kemalut di kepala Raka. Segera ia ambil benda persegi panjang dari sakunya.
Mama is calling...
"Hallo?"
"Pa? Papa dimana sih? Adik nangis telus sejak tadi, Pa! Tidak mau diam!"
Raka tersenyum geli mendengar gerutuan putranya. Beberapa hari ini Kaisar tinggal bersamanya, karena mau sama adik bayi katanya. Tara tidak masalah, asal tidak lebih dari seminggu.
"Wait sayang, Papa akan segera pulang."
"Iya, Pa. Cepat ya.."
Raka memasukkan kembali ponsel ke dalam saku. Melirik sejenak kearah Nisan, lalu melangkah pergi dengan raut datarnya.
Raka baik-baik saja.
Nisa memang sudah saatnya untuk pergi.
Ini lebih baik. Dari pada wanita itu bertahan dengan banyak derai air mata karena kegilaannya.
Seperginya Raka, seseorang yang sejak tadi bersembunyi dibalik pohon kini memunculkan diri. Melangkah pasti menuju makam yang tadi juga dikunjungi Raka.
Kesedihan begitu tertera diwajahnya. Seolah dunia ini tak pernah berlaku adil meski hanya hanya sekali saja.
"Dia akhirnya datang." Ucapnya lantang meski suaranya begitu letih. "Penjahat itu akhirnya datang setelah kamu pergi selama ini." Kekehan miris keluar dari bibirnya.
"Dia bahkan tidak bersedih, Nisa. Dia terlihat jauh lebih baik dari pada diriku." Lirihnya pilu. Hatinya terasa begitu sakit sekali. "Hanya aku yang benar-benar terluka akan kepergianmu!"
"Biar kutitipkan anak kita dalam penjagaannya. Tara adalah ibu yang baik, dia pasti akan menyayanginya seperti putrinya sendiri. Hanya ini yang bisa ku lakukan untukmu, Nisa. Akan ku simpan rahasia ini agar namamu tetap baik dimata mereka. Biarlah malaikat kecil kita tetap disana, ia akan memiliki keluarga utuh nanti."
"Aku sangat mencintaimu.. Nisa. Dan juga anak kita."
Tebaran kelopak mawar menghiasi gundukan tanah itu. Tersebar indah melalui jemarinya. Ia letakkan sebuah buket bunga mawar putih di sisi Nisan sebagai ritual terakhir.
"Aku pamit ya.. Aku akan kembali ke New York setelah ini."
***
Tara merasakan debaran kuat didadanya. Ia masih ingat, terakhir kali menginjakkan kaki dikantor Tama sudah tiga tahun yang lalu. Mengucap sumpah serapah mengutuk Tama di rooftop, lalu pergi setelah mendapat panggilan dari Nisa.

KAMU SEDANG MEMBACA
SALAH RASA
RomanceRasa cinta bisa membuat dunia kita lebih berwarna. Tapi kalau jatuhnya pada orang yang salah, apakah cinta akan tetap indah? #27 Oktober 2021