Dibalik senyum dan Tangis

92 15 3
                                    

***

"Apa kamu mau, menikah dengan Raka?"

uhuukk.. uhuukkk uhukkk.....

...

Susah payah Tara melegakan tenggorokannya sebelum menjawab pertanyaan konyol Nisa. "Ngaco banget sih, Nis!" Ketus Tara serius.

Apa-apaan ini? Pagi-pagi Nisa datang kepadanya untuk mengatakan hal konyol itu? Untuk apa? Untuk menyadarkan Tara betapa bodohnya Tara sekarang? Atau untuk mengingatkan Tara betapa jahat apa yang sudah ia dan Raka lakukan dibelakang Nisa.

"Aku serius Ra! I ask you once again, Apa kamu mau menikah dengan Raka?" Ulang Nisa masih dengan ketegasannya.l

Sorot mata Nisa begitu datar, hingga Tara tidak bisa menebak emosi apa yang sedang Nisa rasakan saat ini. "Nggak usah bicara omong kosong! Kamu istri Raka, dan aku punya suami, Tama! Gimana bisa kamu tanya hal nggak masuk akal gitu ke aku sih?"

Nisa menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

Ia tahu ini konyol. Nisa seperti wanita tidak waras menanyakan hal ini. Tapi otaknya sudah buntu, kehamilan membuat emosinya begitu labil. Sementara Raka semakin lama malah semakin bersikap dingin padanya. Meski tersenyum, Nisa tahu senyum Raka tidak sampai pada matanya. Meski berkata sayang dan bersikap lembut, Nisa tidak lagi bisa membedakan apakah Raka memang perhatian atau sedang kasihan.

Nisa tidak tahu apa salahnya, ingin menyalahkan Tara atas perubahan suaminya pun Nisa tidak sampai hati. Nisa sangat menyayangi sahabatnya, ia juga sangat berterimakasih karena Tara mau membantu permasalahannya dengan mertua.

Tapi sekarang masalahnya seolah berganti lebih berat, rasanya Nisa ingin menyerah saja. Tapi Nisa tidak mungkin bisa hidup tanpa Raka. Membayangkan Raka bahagia dengan wanita lain saja rasanya Nisa lebih baik mati.

"Ada masalah apa sebenarnya?" Tara tidak menghiraukan maksud pertanyaan Nisa sebelumnya, ia tahu Nisa hanya sedanh kalut.

Setelah menghela nafas panjang, Tara memilih berdiri dan menghampiri kursi sahabatnya itu. Bisa ia lihat jelas perut besar milik Nisa, yang mungkin hanya membutuhkan waktu beberapa bulan lagi untuk melahirkan. Harusnya rumah tangga mereka sekarang sudah sempurna kan?

Tapi kenapa sahabatnya malah semakin kacau begini?

Dan lagi-lagi tanpa bisa dicegah, rasa bersalah bercampur iba seolah mencambuk hati Tara. Jika Nisa bisa mati karena Raka meninggalkannya, mungkin Tara bisa mati sesak penuh rasa bersalah jika terus dalam keadaan seperti ini.

Kembali Tara buang semua kerunyaman pengganggu dikepalanya. Saat ia sadar, ia perlu ketenangan lebih untuk menghadapi Nisa saat ini.

"Mau minum teh hangat?" Tawarnya dengan senyum hangat.

Sejenak, Nisa menatap ragu Tara.

Namun Tara mengangguk dengan senyum lembut. Seolah mengatakan bahwa tidak apa-apa Nisa selalu merepotkannya.

Tanpa ingin mengeluarkan suara lebih keras, Tara memilih menelfon Dinda yang berada di meja kasir. "Dinda, bisa tolong buat kan teh hangat untuk mbak Nisa? Sekalian cookies kacang yang saya beli kemarin, bawa kemari. Itu makanan kesukaan ibu hamil ini. Ya, ya, terimakasih Dinda."

Tara mematikan sambungan telepon, lalu ia kembali menatap Nisa yang kini tengah menatapnya penuh haru. "Kamu tau, Ra? Aku begitu bersyukur memiliki kamu dalam hidupku."

Tara tersentak kaget mendengar itu. Bersyukur? Nisa bersyukur memilikinya? Apakah Nisa juga bersyukur sekarang Tara berada diantara hubungan Nisa dan Raka?
Dengan sedikit tercekat, Tara menjawab. "Aku.. tahu. Jadi, kamu jangan khawartirkan Raka lagi ya? Dia selalu kembali ke kamu kok." Ujar Tara, berusaha menyampaikannya dengan nada setenang mungkin.

"Terimakasih ya, Ra?"

Tara mengangguk ringan seolah tanpa beban. Tanpa Nisa tahu, betapa hati Tara sedang teriris pedih saat ini.

Dimana rasa bersalah dan bimbang membelenggunya tanpa ampun. Tara juga sangat khawatir, bagaimana jika Nisa mengetahui perasaannya pada Raka? Apakah Nisa akan tetap menganggapnya sebagai sahabat?

***

Dahi Tama mengernyit saat melihat Nisa keluar dari Butik milik Tara. Raut sendunya begitu menguar membuat siapapun yang melihatnya ikut prihatin. Buru-buru ia turun dari mobil untuk menyapa wanita itu, dengan Kala dalam gendongannya.

"Mbak? Udah mau pulang?"

Nisa tersenyum simpul melihat kedatangan Tama bersama dengan Kala. "Iya Tam, kamu dari mana?"

"Dari rumah, mau antar Kala ke mamanya." Jelas Tama. "Mbak sendiri? Atau sama Kaisar?"

"Oh, iya saya sendiri. Tadi saya kesini karena Kaisar masih dirumah Mama saya, ini sekalian mau jemput."

Mendengar penjelasan Nisa, Tama mengangguk paham. Ia juga melihat ada sebuah mobil yang berhenti tepat didepan butik. "Itu grab pesanan saya sudah datang, saya duluan ya Tam."

"Iya mbak, silahkan."

Tanpa sepengetahuan Tama, Nisa masih mengawasinya setelah ke masuk dalam mobil. Menatap bagaimana Tara tersenyum cerah menyambut kedatangan Tama dan Kayla. Mereka bercanda ria bak keluarga bahagia.

Dengan tangis tertahan, Nisa mengalihkan tatapannya. "Jalan Pak..!"

Seiring dengan roda mobil yang ditumpanginya berputar, kenangan belasan tahun lalu mulai berputar kembali.

***

"Wahhh kalungnya bagus, Ka!"

Raka menoleh ke arah gadis riang yang selalu menyempatkan diri untuk menyapanya setiap pagi. Padahal, tujuan Raka selalu duduk disana adalah untuk menunggu gadis pujaan hatinya lewat.

Raka tersenyum canggung sembari menyimpan kalung putih di tangannya ke dalam saku celana. "Secantik yang punya."

"Ciee, itu punya pacar kamu yaa?"

"Bukan pacar saya, dia anti sama saya."

"Loh? Kenapa?"

"Seseorang tidak butuh alasan untuk tidak menyukai orang lain kan?"

Gadis didepan Raka merengut tak setuju. "Nggak, orang nggak suka pasti ada alasannya!"

"Tapi saya tetap setuju dengan pendapat saya sendiri."

"Kenapa?"

"Karena akan terlalu banyak alasan untuk dia tidak menyukai saya."

Gadis itu menatap Raka dengan sangat prihatin. "Siapa dia? Apa saya bisa bantu?"

Untuk pertama kalinya, Raka tersenyum ramah pada gadis itu. "Bantuan seperti apa yang bisa kamu lakukan?"

"Saya bisa memberitahu gadis pujaan hatimu, kalau kamu sangat menyukainya."

"Kamu serius?"

"Tentu!" Serunya semangat. Ia senang sekali, Raka mau tersenyum padanya. "One day, aku pasti akan bawa dia datang ke kamu!" Seru gadis itu yakin.

"Maaf, Ka. Aku nggak akan pernah tepati janji itu, sampai kapanpun nggak akan bisa. Aku tetap nggak akan bisa lepasin kamu untuk siapapun." Hikss.. "Terimakasih Tara, sudah membiarkan aku merebut Rakamu."

Nisa mengeluarkan ponselnya, mencari sebuah nama di kontaknya. Dengan senyum manis, ia menyapa seseorang diseberang sana. "Aku sudah memastikannya. Tara menolak tawaranku, ia tidak menghianatiku."

"Ya, kamu tenang saja. Aku baik-baik saja disini."

"Hm.. Sampai bertemu nanti."

***

SALAH RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang