***
"Nisaa.. Aku nggak sabar untuk bertemu dan kucubit pipi mu sampai melar ya! Bisa-bisanya kamu nggak langsung kabari aku kalau kamu akan jadi ibu lagi? Demi tuhan, kamu sangat menyebalkann honey!"
Nisa tertawa renyah mendengar celotehan Tara. Kemarin, ia cukup sibuk hingga hari ini baru bisa melakukan video call dengan Tara. "Maaf ya, tapi Raka maksa banget mau kasih tahu kamu langsung katanya. Aku sendiri nggak bisa ikut, kamu tahu aku harus extra hati-hati banget kali ini." Jelas Nisa.
Di seberang sana, Tara mengangguk setuju. "Iya, kamu memang harus banyak istirahat. Jangan sampai stress, jangan kecapek'an harus jaga diri sama dede bayi."
"Maka dari itu, Raka juga sangat protectif sekarang. Di rumah pun aku nggak boleh pegang kerjaan, aku nggak boleh ngapa-ngapain Tara!" Ungkap Nisa dengan binar bahagia yang tak bisa ditutupi. "Dia bahkan memperlakukanku seperti princess."
"Sampai seperti itu?"
"Ya. Dia sangat bahagia menunggu kelahiran anak kita. Dia selalu menciumi perutku setiap malam, mengusapnya penuh perhatian, dan berkali-kali mengucapkan kata cinta padaku."
"Wah, itu.. sepertinya, bagus... Dan.. Ya, kamu pasti bahagia?"
"Tentu Tara, aku sangat bahagia. Kaisar sebentar lagi akan punya teman bermain."
"Eehh, sudah dulu ya Nisa. Aku harus kembali ke butik, ada klien yang ingin bertemu sebentar lagi." Tara terlihat bangkit dan hendak mematikan panggilan mereka.
Nisa mendesah lesu. "Kamu bilang hari ini lagi free? Mau ngobrol banyak sama aku.." Tuntutnya, karena tiba-tiba Tara kembali sibuk. Ia pasti kesepian hari ini, Raka sedang sibuk dengan pekerjaannya yang tertunda kemarin dan bisa dipastikan lembur untuk malam ini.
"Ah, itu.. Nanti kita bisa video call lagi. Sekarang sudah dulu, yaa. Bye Nisa."
Tut..
Nisa menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. Senyumnya muncul membayangkan kini ada si kecil yang sedang tumbuh dalam perutnya. "Sehat-sehat ya nak.. Jangan pergi seperti kakakmu. Mama sangat menunggu kelahiran kamu nak."
__
Di tempat lain, Tara menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Lalu berguling-guling tak tentu arah dan sesekali berteriak tidak jelas.
"Dia sangat protectif, dia selalu mengelus perut ku, dia sangat mencintaiku, Aaaaakh!" Pekik Tara frustasi. Ia beringsut duduk, lalu menatap cermin yang kini memantulkan bentuk nyata dirinya. Rambut acak-acakan. Baju acak-acakan. Kasur pun acak-acakan. Begitu brantakan.
"Oh.. Tara.." Tara menatap prihatin dirinya sendiri. "Kau sangatlah menyedihkan, Tara. Bisa-bisanya kau terbawa perasaan pada laki-laki bodoh dan sangat alay seperti Raka. Kau pasti harus pergi ke Psikiater setelah ini.!" Cemoohnya pada diri sendiri.
"Lihatlah.. Lihatlah.. Kau bisa gila jika terus memikirkan kehidupan mereka, Tara. Kau.. harus secepatnya mengambil Kaisar lalu kau akan hidup bahagia... Then.. happy end-,"
Drttt... drttt..
Tara menyudahi dramanya sejenak. Mengambil ponselnya dan menerima panggilan masuk disana. "Yeeaaa, Halloww.. Dengan Tara disini??"
"Ra? Are you okay?"
Tara melihat kembali id pemanggil, lalu berdeham sejenak sebelum kembali bicara dengan suara yang berbeda dari sebelumnya. "Ya hallo, kenapa Ka?"
"Kamu sibuk?"
"Nggak."
"Oke. Aku butik sekarang."
Tut.
Tara menganga ditempatnya. "Sialan! Siapa yang bilang aku ada dibutik?" Gumamnya kesal. Namun tubuhnya tetap bangkit menuju meja rias. Ia sudah mandi, sehingga hanya perlu menata kembali riasan diwajahnya.
"Kalaaa! Yuhuu, where are you?" Pekiknya begitu menyadari Kala tidak lagi ada didalam kamarnya.
"Mmyy, La ni ni.."
***
Raka tersenyum kecil mengawasi gadis kecil didepannya yang terus mengunyah cokelat sembari berungkang kaki di atas sofa. Sejak kemarin setelah bertemu pertama kali, Raka merasa menyukai gadis kecil itu.
Begitu cantik dan mungil, seperti Lava kecil. Rambut merah lurus, mata kecil dengan bulu mata lentik dan tebal, hidung mancung, bibir tipis namun begitu merah. Kulitnya juga putih bersih.
Raka tidak tahu berapa usianya. Mungkin lebih muda beberapa bulan dari Kaisar karena tubuhnya sangat mungil. Gadis kecil itu bukan anak pemalu, ia cukup cerewet dan aktif seperti Kaisar. Sehingga tidak canggung meski ditinggal berdua dengan dirinya seperti saat ini contohnya.
"Berapa umurnya sekarang, Ra?" Tanya Raka begitu Tara kembali bergabung dengan mereka. Sengaja Raka mendatangi butik, ia hendak memesan baju ibu hamil untuk Nisa.
"Tama bilang dia tidak tahu tanggal berapa Kala lahir. Tapi kita samakan saja dengan Kaisar, merayakan hari ulang tahun mereka sama-sama pasti akan semakin asik." Jelas Tara santai. Memang benar, selain Dinda dan Charles, tidak ada yang tahu persis kapan sikembar lahir. Raka mengetahui tanggal kelahiran Kaisar pun dari akta kelahirannya.
Raka mengernyit bingung. "Kenapa harus disamakan? Memangnya usia mereka sama?"
"Entahlah, tapi kurasa berbeda pun hanya sedikit."
"Memangnya Tama menemukan dia dimana sih? Masa ia anak secantik ini dibuang begitu saja oleh orang tuanya?"
Tara menahan kuat-kuat emosinya mendengar kalimat Raka. Sialan, kenapa Raka berfikir ia sengaja membuang anaknya sih? Tara kan cuma bilang kalau Kala adalah anak adopsi Tama!
"Aku tidak tahu! Dan jangan bicara seperti itu lagi, Kala adalah anakku! Anak kami! Aku akan membunuhmu kalau dimasa depan Kala mendengar semua ini." Tukas Tara tajam. Tidak peduli Raka malah tertawa melihat kemarahannya.
"Iyaa, aku minta maaf. Aku janji tidak akan mengatakan hal itu lagi." Ujar Raka serius. "Dia sangat cantik, mirip Lava waktu bayi."
"Jangan samakan anakku dengan Lava, Raka! Menyebalkan!" Tara mengamuk dan membawa Kala dalam gendongannya. "Kala, sama aunty Dinda aja. Jangan dekat-dekat sama orang jelek!" Bisiknya sembari berjalan menuju Dinda. Meninggalkan Raka yang sedang terbahak keras ditempatnya.
"Eh? Kenapa ini mbak?" Dinda menerima Kala dengan raut wajah bingung.
"Jagain Kala dulu, biar aku urus klien dadakan itu." Ketus Tara lalu berbalik menuju sofa tempat Raka duduk.
Raka baru saja bisa meredakan tawanya saat Tara datang. "Masih marah Ra, sama Lava?"
"Nggak." Ketus Tara.
"Maafan dong, udah besar kok masih musuh-musuhan sih?"
"Nggak mau!" Kukuh Tara.
Raka menghela nafas pasrah. "Yasudah, maaf."
"Nggak dimaafin!"
Pembahasan tentang Lava selalu Tara hindari. Tara benar-benar sangsi saat mendengar kata mirip Lava keluar dari bibir Raka. Biar bagaimanapun, Lava adalah bibinya. Mungkin ini karmanya karena terlalu membenci Lava, sehingga seluruh tubuh Kala sangat mirip dengan Lava. Tentu ini baik, setidaknya Kala bukan seperti Kaisar yang mirip dengan Raka.
Tara hanya berdoa, semoga sikap Kala tidak ikut sama seperti Lava.
Raka sendiri, sebenarnya cukup paham dengan sikap Tara, mengingat Lava juga masih melakukan hal yang sama. Padahal, orang yang dulu pernah mereka perebutkan telah bahagia dengan orang lain.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
SALAH RASA
RomanceRasa cinta bisa membuat dunia kita lebih berwarna. Tapi kalau jatuhnya pada orang yang salah, apakah cinta akan tetap indah? #27 Oktober 2021