***
Tama tersenyum tipis melihat kedatangan dua perempuan berbeda generasi itu. Keduanya sama-sama mengenakan gaun putih panjang tanpa lengan, sama seperti dirinya yang juga mengenakan kemeja putih. Sore ini, ia sedang mengadakan Private Party untuk merayakan hari kelahiran Putri tercintanya.
"Ibu dan anak sama-sama cantik yaaa..." Pujian yang ia lontarkan pada anak dan istrinya tidak membuat kedua tersenyum malu. Tara dengan percaya diri berputar didepan suaminya. "Tara kapan sih jelek? Never!" Tuturnya bangga.
Melihat itu, Tama hanya menahan senyum lalu meraih Kala dalam gendongan. "Kalo yang ini, baru selalu cantik! Iya kan sayang?"
Kala kecil meringis senang, menunjukkan gigi gigi putihnya yang belum tumbuh sempurna. "Daddy, Ala, atikk.."
"Iya sayang, Kala cantiikk. Anak Daddy!"
"Dia cantik karena aku adalah ibunya!" Ucap Tara menimpali, bangga pada dirinya sendiri. Karena kedua anaknya sama-sama berparas indah, baik Kai maupun Kalla.
"Ra, sorry ya. Karena acara ini kamu nggak bisa hadir di acara Kai." Ucap Tama tulus. Ia merasa bersalah atas ini, tapi ia juga ingin mereka memiliki acara mereka sendiri. Baginya, perayaan untuk Kala sendiri tak kalah penting.
"Nggak masalah Tam, anggap aja ini pesta terakhir mereka bareng Kai. Karena sebentar lagi, aku akan ambil Kai."
"Raka sudah setuju, Ra?"
"Setuju nggak setuju!"
Tama tersenyum melihat kilatan kesedihan dimata Tara. Kilatan yang selalu saja muncul ketika mereka membahas Raka dan Kaisar.
"Yasudah, ayo kita turun. Sudah siap kan?"
"Ya! Ayo kita turun.."
"Kita turun sekarang!" Tama melangkah keluar kamar lebih dulu bersama Kala, kemudian disusul Tara. Tak lupa wanita itu kembali menutup pintu kamar mereka.
***
Di lain tempat, tepatnya di kediaman Raka, Nisa menghampiri suaminya yang tengah duduk termenung di sofa. Sejak tadi suaminya itu terlihat pendiam dan murung, tidak seperti biasa. Padahal dirumah sedang ramai dipenuhi anak-anak dari tetangga.
"Papa, ada masalah?" Sapa Nisa lembut, sembari mengusap seringan bulu bahu kokoh Raka.
"Enggak sayang." Elak Raka sembari membuang pandangannya dari Nisa. Akhir-akhir ini, mood nya benar-benar kacau.
"Pa, ini ulang tahun anak kita loh? Tapi kok Papa kelihatannya nggak happy gitu sih?"
Nisa mendengus kesal. Ia paling tidak suka diabaikan. "Yasudah, terserah Papa aja." Ketus Nisa lalu beranjak pergi sembari mengusap perut besarnya.
Raka mengacak kasar surai gelapnya. Iya yakin rencananya akan berjalan lancar, tetapi kenapa dirinya malah dilanda resah begini?
Menyerah, Raka pun bangkit dan memilih keluar menuju teras rumah. Dimana kondisi lebih tenang tanpa suara-suara berisik tamu. Jujur saja, Raka tidak terlalu menyukai keramaian. Ia tidak suka suasana bising, ia juga tidak terlalu menyukai anak-anak. Anaknya Kai bukanlah anak kecil yang cengeng, putranya itu pendiam dan pintar. Mungkin itulah yang membuatnya menyukai Kaisar, atau mungkin karena Kaisar memang darah dagingnya. Raka juga tidak tahu.
Satu-satunya moment yang ia sukai saat bermain dengan anak-anak selain Kaisar adalah saat ia bersama Kalla, anak Tama. Anak itu juga tidak cengeng dan menyenangkan, cerdas dan juga memiliki tawa yang lucu. Pantas saja Tama sangat menyayanginya.
Bosan hanya duduk di teras, Raka pun mengeluarkan ponselnya. Menscroll cepat mencari sebuah nama yang sejak beberapa hari lalu berhasil mengacaukanya. Hanya membutuhkan satu detik jarinya telah mendial panggilan kepada wanita itu. Berdering. Tak lama, suara serak dengan nada ketus menyambutnya.
"Apa?!" Raka menyukai ini. Moodnya terasa lebih baik meskipun Tara berlaku ketus padanya. Setimpal dengan apa yang ia lakukan pada wanita itu, dan Raka tidak menyesal. Banyak hal salah yang ia lakukan pada Tara namun tetap ia perbuat sebab menurutnya itu menyenangkan. Aneh memang.
"Kamu.. Apa kabar?" Tanyanya konyol. Dan Raka tahu ia memang selalu terlihat konyol jika berurusan dengan ibu dari anaknya itu.
"Nggak jelas banget sih, ngapain lagi nelpon gue?!" Bentak Tara dari seberang sana.
"Ra, kita kan udah baikan.."
Raka bisa mendengar Tara sedang mendengus malas mendengar kata 'baikan' dari bibir Raka. "Bego, lo! Gue matiin kalo nggak ada yang penting!"
"Ra-,.. Ck,!" Raka mendesis sebal karena panggilannya diputus sepihak. Ia masukkan kembali ponselnya dalam saku celana, lalu berdiri, hendak masuk kembali dalam rumah tetapi ternyata ada sosok yang sepertinya telah melihat apa yang dia lakukan.
"Mama?"
Ira menatap datar Raka. Lalu berbalik tanpa berniat membalas sapaan putranya itu. Tiba-tiba Ira merasa pening, perasaannya tidak nyaman, ia memiliki firasat tidak menyenangkan namun selalu ia coba enyahkan. Ia hanya berharap, segalanya bisa terlewati dengan baik.
"Ma?"
Nisa menghampiri ibu mertuanya yang melangkah dengan tatapan sendu. Entah ada apa dengan Raka dan ibunya hari ini, keduanya tampak lesu setelah berbicara tadi pagi.
"Makan yuk, Ma? Dari siang tadi Mama belum makan lhoo?" Bujuknya pada sang ibu.
Ira menatap sendu menantunya itu. Menantu yang selama ini selalu baik dan perhatian padanya, pada keluarganya. Meski cobaan telah menimpa rumah tangganya, ia tahu Nisa sangat kuat sehingga mampu menghadapinya dengan baik.
"Kapan mau periksa ke dokter lagi, Nis? Nanti Mama ikut ya?"
Nisa mengernyit bingung. "Kok malah ke dokter sih, Ma, Nisa kan ajak Mama makan. Ayuk, Nisa temani Mama makan dulu, kontrol nya Nisa masih lama kok. Dua minggu lagi." Jelas Nisa disertai tawa kecilnya. Di gandengnya ibu mertuanya menuju ruang makan. Nisa mengambilkan piring dan menyiapkan makanan dengan cekatan.
"Silahkan ma.. Nisa ikut makan juga kok, dikit aja tapi. Nisa udah banyak makan soalnya."
Ira tersenyum tulus. "Iya nak, terimakasih ya.."
"Sama-sama Ma.."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
SALAH RASA
RomanceRasa cinta bisa membuat dunia kita lebih berwarna. Tapi kalau jatuhnya pada orang yang salah, apakah cinta akan tetap indah? #27 Oktober 2021