24. GELISAH
***
"Dindaaaaa!!!"
Teriakan Tara menggema didalam rumah hingga ke dapur. Dinda baru saja hendak mengangkat jus yang ia buat, kembali ia letakkan lagi di meja dapur. Ikut terserang panik mendengar teriakan Tara yang membahana.
"Mbak Tara? Dima-, Astofirulloh.. Mba Tara ngapain tiduran di teras sih, kan dingin mbak?"
Tara ingin sekali menjambak rambut Dinda. Bagaimana bisa dia mengatakan seperti itu, dengan keadaan Tara yang menahan sakit diperutnya sambil duduk menyender di tembok depan rumah.
"Sakit perut saya, Dinda!" Desisnya sabar. Karena emosinya naik, ditambah teriakannya pada Dinda yang mungkin terlalu keras, perut Tara langsung mengalami kram.
"Haduh, gimana ya mbak? Mau tunggu tenang dulu? Atau pindah ke kamar dulu? Atau, aduh Dinda bingung mbak!"
Tara memejamkan matanya pasrah. Mengikuti arahan Dinda yang sekarang memintanya untuk relax dengan menarik nafas lalu mengeluarkannya perlahan.
"Nah, iya seperti itu, tarik nafas... keluarkan perlahan. Ambil nafas lagi, tahan sebentar, keluarkan perlahan.."
"Nah, sekarang mbak Tara sudah tenang, gimana? Udah mendingan perutnya?" Tanya Dinda memastikan. Ia juga membantu Tara bangkit dengan tubuh kecilnya.
"Em, lebih baik."
"Dinda antar ke kamar aja ya mbak? Tadi Dinda sudah buatkan jus alpukat kesukaan mbak."
Tara mengangguk lemah. Sebelum benar-benar masuk, sekali lagi ia melirik buket bunga yang terkapar didepan rumah dan sedikit rusak karena ia menendangnya tadi. Perasaannya belum membaik menyangkut Raka. Entah kenapa, kekesalannya makin bertambah kian hari.
"Loh? Mbak Tara kok nangis? Ada yang sakit lagi mbak? Dimana?" Dinda sangat khawatir. Ia memakaikan selimut hingga perut Tara, lalu ia ikut berbaring disamping Tara dan menarik kepala Tara dalam pelukannya.
"Mbak Tara jangan sedih, nanti adik bayinya sedih. Cerita sama Dinda, biar Dinda bantu kalau Dinda bisa mbak.." Bujuknya lembut.
Tara mulai sesegukan dan perutnya kembali terasa kram. Ia merengek dalam pelukan Dinda, pasrah. Seluruh tubuh Tara terasa sakit sekarang. Kepalanya pening, dadanya sakit, sesak, perutnya nyeri.
"Hiks... Raka... Rakaa... Sakit..." Rengeknya seperti bayi. Tara memang paling bisa menyembunyikan perasaan, sehingga tetap terlihat cuek saat dulu bermisi menaklukan hati Tama. Tetapi tidak dengan rasa sakit. Sedikit saja ia merasa sakit pada fisiknya, Tara akan menangis keras.
"Aduhh.. Mbak Tara, Dinda panggil dokter ya? Eh, tapi Dinda nggak tahu caranya. Atau Dinda telepon Kak Charles aja?"
Tara menggeleng disela tangisnya. "Nggak mau! Huhu.. Rakaaa!! Jahat!.. Sakittt.."
Dinda makin bingung. 'Mbak Tara itu kesal sama mas Raka atau kangen sih? Kok manggil-manggil mas Raka terus?' .
"Em, mbak Tara mau Mas Raka?" Dinda bertanya hati-hati. Namun sambutan Tara tetap tidak baik. Wanita itu melepaskan pelukan Dinda dan menatap Dinda tajam penuh amarah.
"Ya! Aku mau Raka! Mau Raka! Rakaaaa!! Aku mau bejek-bejek dia, aku hajar sampai dia tahu kalau hamil itu nggak enak!" Pekik Tara berapi-api.
"Em, Mas Raka nggak mungkin tahu rasanya mbak. Mas Raka kan, laki-laki."
Ingin sekali Dinda mengatakan hal itu, namun ia tahan. Takut jika Tara makin menjadi.***
"Iya, hormon ibu hamil memang aneh. Tapi ini pertama kalinya mbak Tara seperti itu Kak. Padahal, sebelumnya mbak Tara baik-baik saja. Mbak Tara juga bilang, ingin bertemu Mas Tama disini." Adu Dinda pada Charles.
Ia tidak mengenal siapapun disini yang terdekat kecuali Charles.
Lelaki itu bilang masih akan menetap di Paris paling tidak sampai satu bulan lagi. Dinda takut jika tiba-tiba sesuatu terjadi pada Tara atau kandungannya, jadi ia menuruti Charles untuk terus mengabarkan perkembangan Tara.
"Tenang dulu, Dinda. Kamu sudah periksa dulu, apa yang membuat Tara tiba-tiba emosi? Kamu bilang kan, menemukan Tara diteras. Apa yang dilakukan Tara disana?"
"Lahh, iya Kak. Kok Dinda nggak kepikiran ya? Sebentar, Dinda cek keluar deh Kak." Setelah memastikan Tara benar-benar lelap dalam tidurnya, Dinda pun bangkit dan melangkah keluar dari kamar.
Tujuannya kembali ke teras. Saking paniknya, ia juga tidak sempat menanyakan siapa yang datang pagi tadi.
Dinda mengamati sekitar dengan cermat. Dan ia tidak menemukan apapun kecuali sebuah buket bunga yang sudah hancur karena Tara sempat menginjaknya.
"Cuma ada bunga Kak." Kata Dinda pada Charles yang masih terhubung dalam panggilan dengannya.
"Bunga? Dari siapa Dinda?"
"Emm, nggak ada nama pengirimnya Kak. Tapi.. happy mother's day for-, hah? Ini kayaknya dari Mas Raka deh Kak?".
"Raka?"
"Iya, pengirimnya lovely husband kak.."
"Kamu yakin itu Raka? Bukan orang lain kan Din?"
"Iya kak, Dinda Yakin."
"Tunggu, sebentar lagi kakak kesana."
Sambungan terputus. Dinda menghela nafas lega mendengarnya. Ia bisa tenang sekarang.
***
Sejak pagi, Tara berjalan mondar-mandir dikamarnya. Setelah kemarin puas menangis, hari ini ia baru sadar jika keadaannya dalam bahaya.
Raka sudah tau dimana ia berada. Bukan tidak mungkin jika Raka tiba-tiba datang, dan buruknya lagi Raka mengetahui ia jika mengandung bayi kembar.
Tidak! Tara tidak akan membiarkan itu terjadi. Tara hanya akan memberikan satu anak untuk Raka, lalu akan mengambilnya lagi jika nanti Raka dan Nisa sudah memiliki keturunan. Nisa sendiri yang berjanji, tidak akan mengambil selamanya satu-satunya anak milik Tara.
Jika Raka ataupun Nisa tahu ia memiliki dua anak sekaligus, Ia yakin mereka tidak akan mengembalikan anaknya. Atau jika bisa pun, tidak akan semudah itu. Ini tidak bisa dibiarkan, ia harus segera membereskan ini atau segalanya bisa kacau.
Selama ini Tara belum pernah memerikasakan kandungannya ke rumah sakit besar. Ia selalu sembunyi dan sangat hati-hati saat melakukan USG. Sekarang, Tara membutuhkan koneksi lain. Raka sangat bisa menembus jika itu hanya idenya.
Tara semakin ketakutan. Ia menggigit jarinya, mencoba meneteralkan rasa gelisah. "Siapa? Siapa yang bisa bantu aku? Siapa?"
"Mbak Tara.."
Tara menoleh dan menipiskan bibirnya menatap Dinda. Dilihat dari raut wajahnya, kabar yang akan gadis itu berikan pastilah kurang baik. Membuat kegelisahan Tara meningkat, semakin parah saja.
"Ada apa?"
"Ada Mas Tama, didepan."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SALAH RASA
RomanceRasa cinta bisa membuat dunia kita lebih berwarna. Tapi kalau jatuhnya pada orang yang salah, apakah cinta akan tetap indah? #27 Oktober 2021