15. GILA***
"Baiklah.. memang seharusnya aku pulang sejak tadi!" Gerutu Tara begitu bangkit dari tersungsur tidak elitnya. Ia memberengut sebal melihat telapak tangannya memerah dan terasa sedikit perih disana. "Lecet nih.. Harus cepet dibersihin!"
Melihat sekeliling rumah Raka, tidak ada keran air di bagian luar, Tara langsung memustuskan kembali ke jalan dan memanggil taksi. Beruntung rumah Raka berada di tepi jalan Raya, sehingga Tara tidak perlu kerepotan mencari kendaraan umum jika berkunjung.
Waktu sore hari membuat perjalanan yang biasanya hanya memakan waktu 40 menit, kini lebih lama. Jalanan begitu padat, mungkin karena bersamaan dengan waktu jam pulang kantor.
"Pak, lama banget sih macetnya?" Tara sudah mulai lelah. Kepalanya sedikit pusing, badannya terasa lemas dan perutnya mual. Tetapi kepadatan jalan seolah enggan terurai. Belum lagi telapak tangannya terasa perih, Tara merasa semakin tak nyaman.
"Saya juga heran mbak, nggak biasanya daerah sini macet." Kata Pak Supir menimpali. Kali ini Tara memakai grabcar, bukan taxi. Mengingat jarak dan kemacetan yang bisa saja menguras kantong dan waktu jika berada di jam sore begini.
"Apa ada perbaikan jalan ya pak?"
"Nggak tahu ya mbak, tapi setahu saya tadi siang tidak ada. Siang tadi saya juga lewat sini mbak.."
Tara mulai resah. Macet kali ini luar biasa. Sudah banyak lampu merah, sekarang mereka harus berhenti total.
"Alhamdulilah mbak. Itu sudah jalan.."
Mendengar itu, Tara ikut bersyukur. "Iya pak Alhamdulilah.."
Perlahan, kemacetan memang terurai dan mobil yang ditumpangi Tara melewati tempat yang menjadi alasan kemacetan. "Mbak, ternyata ada kecelakaan.." Celetuk Pak supir, begitu melihat polisi dan banyak orang yang berdiri tempat kejadian.
"Hah? Mana Pak?" Tara ikut penasaran. Ia membuka kaca jendela dan mengintip keadaan diluar.
Benar saja, ada dua mobil terparkir dan terlihat ringsek di bagian depan. Namun banyaknya orang yang berkerumun membuat Tara maupun Pak supir tidak bisa melihat korban.
"Kasihan ya mbak, semoga pengendara dan penumpang semuanya selamat."
"Iya Pak.."
Tak sengaja, Tara mendengar raungan lelaki diantara kerumunan itu, yang anehnya terasa tidak asing ditelinganya. Seolah begitu sedih dan putus asa.
Kasihan sekali.. Batin Tara miris.
***
Seorang wanita berlari tergopoh-gopoh di lorong sebuah rumah sakit. Tidak peduli dengan penampilannya yang kacau, wanita itu terus mencari nomor ruangan yang tadi diberitahukan suster padanya.
"Anggrek nomor 9, Anggrek nomor 10, Ang-anggrek nomor 12!" Serunya begitu menemukan kamar yang ia cari.
Tanpa menunggu lama, ia membuka pintu kamar inap lebar-lebar.
"Charles?!"
Nisa merasa begitu hancur. Lelaki yang biasanya selalu kuat itu itu kini menatapnya penuh kerapuhan. Entah sudah berapa lama lelaki itu menangis, karena matanya yang sipit kini telah membengkak.
"Hai.. Nisa.." Charles tetap tersenyum padanya begitu ramah, meski matanya bersimbah kesedihan.
Tangis Nisa semakin pecah mendengar sapaan halus lelaki itu. "Charles.. Sebenarnya ada apa? Kenapa.. kenapa bisa Ciara kecelakaan? Bagaimana keadaannya? Kenapa Ciara ada di Indonesia?" Berondong Nisa, meluapkan seluruh isi kepalanya yang sejak tadi menggelisahkannya.
"Its oke, Nisa. Ciara cuma mau jumpa kamu sewaktu aku bilang kamu stay disini. Sorry, aku nggak bilang sama kamu kalau sebenarnya, aku disini juga bersama Ciara. Kita nggak jadi kembali ke Rusia setelah mendengar permintaan Ciara..." Charles memaksakan senyumnya begitu tatapannya beralih pada gadis kecil di atas brankar. "Dia berniat memberimu kejutan, Nisa. Dan sekarang, aku pikir kamu sudah terkejut."
"Ciaraa.. hiks... Kamu sangat mengejutkan aunty nak..." Nisa menatap pilu gadis cilik yang masih terpejam itu. Begitu tenang dan damai. Dengan bagian kepala, kaki dan tangan yang diperban. "Charles, bagaimana keadaan Ciara sebenarnya? Apakah luka-lukanya ada yang serius?"
"Ciara akan sadar nanti, luka-lukanya juga sudah di obati, Nisa. Jangan khawatir. Ciara akan segera sembuh dan baik-baik saja." Nisa tahu senyum Charles tidak sampai di mata. Hanya bibirnya saja yang tersenyum padanya. Nisa paham, ayah mana yang tidak sedih ketika putrinya cekala dan sempat kritis.
"Dimana.. dimana orang yang menabrak Ciara?"
Charles menghela nafas sejenak. "Sepertinya dia sedang tidak dalam keadaan baik, setelah sempat menabrak Ciara dia juga menabrak mobil lain. Aku juga tidak tahu bagaimana jelasnya, tetapi mereka bilang wanita itu juga terluka cukup parah dibagian kepala."
"Wanita?" Tanya Nisa syok.
"Ya. Perempuan.."
"Apakah dia dirawat disini juga?"
"Iya, dia disini. Nanti kita jenguk perempuan itu sama-sama. Okay?"
"Kamu tidak marah?"
"Ini kecelakaan. Aku tentu marah, tapi bukan berarti harus mendendam kan? Lagi pula, dokter bilang luka Ciara tidak ada yang fatal." 'Dasarnya baik, dimana pun dan pada siapa pun tetap dia tetap baik'. Batin Nisa kagum. Charles masih tetap sama dengan laki-laki yang dikenalnya 7 tahun lalu.
Merasa sudah lebih tenang, Nisa mendekat ke brankar Ciara. Isakan kecilnya mendesak keluar, namun ditahannya sebisa mungkin.
Ia pindai sosok yang dulu begitu kecil kini sudah menginjak remaja. Tubuhnya pun sudah berubah jauh dari tujuh tahun lalu. Rambut ikalnya yang dulu pendek, kini dibiarkan memanjang. "Kamu benar, Ciara sudah besar sekarang. Apakah dia sudah memiliki kekasih?"
"Pertanyaan apa itu, aku belum siap dia membagi cintanya padaku!" Seru Charles kesal. Namun sebenarnya tidak benar-benar kesal. Ia juga penasaran, apakah sudah ada lelaki yang disukai putri kesayangannya? Selama ini Ciara selalu menjadi gadis baik dan penurut.
Nisa mengusap pipi Ciara penuh dengan kasih sayang. Gadis kecil ini adalah alasannya meninggalkan Charles dulu, tapi ia tidak bisa memungkiri ia sangat menyayanginya. Nisa pernah merasakan posisi di dalam keluarga broken home, tetapi Charles tentu tidak seperti ayahnya yang bejat, tega meninggalkan anaknya. Nisa tidak ingin Ciara kehilangan sosok ayah karena jika Charles menikah dengannya maka mereka akan tinggal di Indonesia. Sementara ibu Ciara tidak mau melepaskan Ciara, bahkan mengancam akan memisahkan Ciara dengan ayahnya jika Charles tetap menikahi Nisa.
"Sa, sepertinya Melody akan menikah lagi."
"Kamu bercanda?" Nisa melotot tak percaya.
"Tidak. Adiknya memberitahuku sebelum aku berangkat ke Indonesia."
"Kamu yakin? Melody sudah bisa melepaskan kamu? Atau karena dia tahu aku sudah menikah?"
Charles tersenyum manis. "Aku tidak yakin, Nisa. Karena hanya ada satu hal yang aku yakini, aku akan selalu menunggumu. Sampai kapanpun Nisa, sampai kamu menyerah dan sadar bahwa hanya aku yang bisa membuatmu bahagia."
"Kamu gila, Charles!"
"Ya, dan kamu akan memilih orang gila ini dari pada Lelaki itu."
Cinta memang buta. Tidak bisa di paksa juga diatur akan jatuh kepada siapa. Hati yang menentukan, dan hati Charles telah menentukan Nisa sebagai cintanya sejak mereka bertemu.
Meski cinta itu rasanya begitu mustahil mengingat ada Raka diantara mereka, Charles tetap berharap Nisa akan berakhir bersamanya suatu hari nanti. Sebab Charles sangat mencintai Nisa. Dan ia yakin, cinta Raka tidak ada apa-apa dibanding miliknya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
SALAH RASA
RomanceRasa cinta bisa membuat dunia kita lebih berwarna. Tapi kalau jatuhnya pada orang yang salah, apakah cinta akan tetap indah? #27 Oktober 2021