Cemburu

160 9 1
                                    


***

Acara ulang tahun Aurel telah selesai. Para tamu undangan pun sudah sepi, hanya menyisakan Satria bersama istri dan anaknya, dan juga Brian. Saat ini, Raka, Satria dan Brian tengah bersantai di halaman rumah sembari menikmati sisa kue.

"Gue masih nggak percaya, Ka. Lo jadi nikah sama Tara."

Raka menatap Satria malas. "Kenapa?"

"Ya lo pikir aja, lo kan bekasannya Nisa. Ya kali dia mau, lo single aja dia ogah kan? Masih inget gue, lo dulu pernah mau nembak dia pas kelulusan." Celoteh Satria semangat. "Tapi gagal total, gara-gara dia parno lo deketin! Jhahahahaa"

"Lo pelet kan, si Tara? Kaya an juga mantan suaminya, si Tama. Elu mah apa Ka, nggak ada apa-apanya." Tambah Brian mengompori.

Jika bukan teman sejak SMA, sudah Raka bantai mulut busuk Satria dan Brian. Bisa-bisanya menjatuhkan image dirinya seperti ini.

"Mulut lo pada brisik, tai!"

"Tapi mulut gue brisiknya bener kan, gimana dong?" Balas Satria. "Gue juga baru sadar sih, diem-diem lo bangsul juga. Bisa-bisanya udah ngeduluin Brian aja, udaj punya buntut tiga.! Brian aja satu ga nambah-nambah!"

Raka tertawa miring sambil melirik Brian. "Kabar bini lo gimana? Ada kesibukan apa sampe nggak pernah lo ajakin?"

Brian yang memang telah biasa mendapati pertanyaan itu dari keluarganya, hanya mendesah malas lalu menyandarkan penuh tubuhnya pada sandaran kursi. "Dia sibuk!"

"Masih di luar kota?" Sahut Satria, ingin tahu.

Dan jawaban Brian hanya membuat kedua sahabatnya tersenyum miris.

Raka tahu, istri Brian memang orang yang sibuk. Tetapi Raka juga tahu bagaimana rasanya berjauhan dengan istri dalam jangka waktu yang lama itu bagai neraka. Sehari keluar kota saja, Raka sudah resah. Merecoki Tara dengan panggilan video ketika malam, pagi, terus-terusan sampai ia kembali lagi. Rasanya Raka rindu setengah mati meski berjauhan beberapa hari saja.

Lalu bagaimana dengan Brian? Bisa-bisanya Brian bertahan selama bertahun-tahun dalam hubungan seperti itu.

"Kapan baliknya?" Kali ini Raka yang bertanya.

"Bulan depan."

"Shit!" Umpat Raka tiba-tiba.

Satria dan Brian menoleh bersamaan ke arah pandang Raka.

Di dekat kolam renang, dua sosok yang pernah berstatus sebagai suami istri berdiri berhadapan. Dengan tatap lekat dan pembicaraan yang sepertinya serius.

"Heh, mau ngapain?" Satria menahan Raka yang hendak bangkit. "Jangan emosi kalo mau samperin mereka. Tara sama mantannya cuma lagi ngobrol, bukan ciuman."

Apapun inti dari percakapan mereka, Raka harus memisahkan keduanya. Tidak akan Raka izinkan Tama mencari kesempatan dalam kesempitan. "Lepas!" Perintah Raka sambil melepas paksa tangannya.

"Si sinting! Bini cuma ngobrol gitu aja udah kalang kabut!" Cibir Satria begitu Raka telah benar-benar menghampiri Tara dan Tama.

Dua manusia yang tadi sempat terlibat obrolan serius, seketika menghentikan kegiatannya begitu Raka datang dengan tatapan menyela.

Tara yang hafal dengan gestur Raka pun beringsut mendekati laki-laki itu. "Ada apa?"

"Kalian ngobrol apa?"

Tama menghela nafas malas. "Mumpung disini, saya pamit pulang." Ujarnya pada Raka,  yang dibalas Raka dengan anggukan kecil.

"Ngomongin apa tadi?" Raka masih penasaran. Tidak akan ia berhenti bertanya sekalipun Tama sudah undur diri.

"Soal sekolah Kalla, Tama tanya pendapat aku sekolah mana yang bagus." Raka mengernyit tak paham. Mereka sudah berpisah, dan Tara bukan ibu kandung Kalla, perlukah laki-laki sialan itu melibatkan Tara dalam kepengurusan anaknya? "Kenapa harus tanya pendapat kamu?"

"Karena Kaisar juga seumuran sama Kalla kan? Lagi pula Tama nggak punya partner untuk berdiskusi, makanya dia tanya ini itu ke aku." Meskipun dalam hati gugup setengah mati, sebisa mungkin Tara tetap menampilkan ekspresi setenang mungkin didepan Raka.

Sebab, belum saatnya Raka tahu!

Tara tidak sampai hati mengambil permata kehidupan Tama, lagi. Tara tahu setega apa seorang Raka, mau Tama berlutut, memohon bahkan merengek pun tidak akan ia biarkan putrinya tetap bersama Tama. Raka pasti memanfaatkan hak nya sebagai seorang ayah, sebaik-sebaiknya. Tanpa peduli kalau mungkin Tama bisa gila betulan jika Kalla-nya di ambil.

Sementara Tara disini masih bisa menemui Kalla sepuasnya. Raka bisa bertemu Kalla setiap minggu karena bocah itu memang sering menginap dirumahnya. Atas permintaan Tara tentunya, yang beralasan bahwa hubungan persahabatan mereka harus tetap terjalin baik. Tara yakin, Raka akan baik-baik saja tanpa Kalla. Apalagi Raka juga memiliki putri yang lain, yaitu Aurel. Tara  tidak akan suka jika suatu hari nanti ada perbedaan perlakuan antara putrinya dengan putri Nisa.

Maka karena itu pula, Tara masih membisu hingga saat ini. Berpura-pura buta akan kenyataan yang terpampang nyata. Seolah membenarkan pendapat Tama bahwa Kalla akan lebih bahagia sebagai anak Tama dari pada Raka.

"Itu salah dia sendiri, Ra. Kenapa nggak cari ibu lain untuk anaknya? Seharusnya dia cepet cari istri lah, biar nggak ngerecokin kamu terus!" Raka mendumel. Tidak menyukai alasan apapun yang membuat Tara harus berbincang dengan mantannya. Sikap posesifnya mulai bertambah ke tahap memprihatinkan memang.

"Nggak ada salahnya kita bantu orang lain, Raka. Jangan gitu, ah!"

"Ya, boleh membantu tapi jangan ngomong sama dia! Ah, nggak tau lah!" Raka mengacak rambutnya hingga berantakan.

Tara semakin tak paham dibuatnya. "Raka? Kamu kenapa sih?"

"Nggak! Sana kamu sama dia aja!" Tara semakin tak mengerti, jawaban Raka terlalu annoying. "Aku mau ke kamar!"

Tara tersenyum geli, namun mengikuti langkah Raka menuju kamar mereka. Ya tuhan, bahkan teman-temannya belum seluruhnya pulang.

"Ken mana?" Kicau Tara lagi begitu keduanya telah berada didalam kamar. Tara ingat, tadi  menitipkan si bungsu pada suaminya itu.

"Sama mama." Jawab Raka cepat. Secepat gerakannya yang menarik lengan Tara hingga tubuh sintal itu menabrak tubuhnya.

Raka menatap Tara begitu lekat. Wajah bulat mungil dengan mata sehitam malam, alis tebal, hidung runcing serta pipi sedikit chubby yang ternyata bisa begitu menyatu indah dengan wajahnya. Bibir tipisnya yang begitu menggoda serta tahi lalat disebelah mata, sebagai tanda visual wanitanya. Wanita yang dengan kurang ajar berani masuk kedalam mimpi basah pertama Raka. Pun mimpi-mimpi selanjutnya.

"Menungging!"

Mata Tara mengerjap tak paham. "Menu-ngging?"

"Menungging sekarang!" Raka Tak sabaran. Tangannya yang kuat itu menekan pungggung Tara ke bawah. Sementara satu tangan lainnya menyibak dress selutut yang Tara kenakan, kemudian menarik sisa-sisa kain yang menutupi bongkahan menggiurkan milik Tara.

Plak!

"Ah-," Tara merutuki mulutnya yang telah mengeluarkan suara menyeramkan itu. Kepalanya terasa pusing karena posisi kepalanya yang tiba-tiba terbalik, namun Raka tetap menahannya dengan posisi tak nyaman itu. Disertai tamparan kedua, tiga empat dan lima pada bokong berisinya.

Plakk!!

"Akh.. Ampun Ka, ampun!"

***

SALAH RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang