16. TERIMAKASIH
Seperti anak yang kehilangan induk, Raka tidak tahu sudah berapa lama ia duduk meringkuk memeluk lututnya didepan pintu apartement Tara. Beberapa orang yang lewat tentu menatap aneh ke arahnya, bahkan ada pula yang terang-terangan menatapnya penuh curiga.Tapi Raka tidak peduli, ia tidak tahu lagi kemana harus pergi. Pulang pun tak sanggup, mengingat pertengkarannya dengan Nisa yang begitu hebat. Tapi ia juga malu kalau harus mengetuk pintu apartement Tara, setelah meninggalkannya begitu saja.
"Charles sialannn!"
Raka pernah merasakan ini. Sangat frustasi dan sakit. Dan ia kembali mengalaminya sekarang, lagi-lagi dengan alasan yang sama, Nisa dan Charles.
Setiap hal yang menyangkut Charles, Raka selalu merasa kalah. Lelaki itu mampu menggeser posisinya yang telah lama menemani Nisa hanya dengan waktu empat bulan. Bahkan, hampir membuat Raka kehilangan Nisa selamanya.
Sekarang, setelah Raka merasa semuanya telah sempurna tanpa gangguan, lelaki sialan itu kembali lagi. Dan dengan cara menggelikan pun, si brengsek itu berhasil mengambil perhatian Nisanya kembali.
Raka semakin pusing sekarang. "Arrgghhhh!"
"Mas, maaf. Perlu saya panggilkan mbak Tara? Sepertinya mas butuh istirahat?" Seorang wanita yang terlihat lebih dewasa dari Raka menghampiri. Mungkin, wanita itu iba dengan Raka yang tidak beranjak sejak tadi.
"Diluar dingin Mas, saya yakin Mba Tara orang yang pemaaf."
Jadi mbak ini pikir aku sedang meminta maaf dengan Tara? Batin Raka geli. Namun tak urung sebuah ide terlintas di kepalanya. "Benar mba? Tara akan memaafkan saya?"
"Tentu saja, mas. Mbak Tara tidak suka marah-marah meskipun ia sedang kesal. Saya mengenalnya cukup baik."
Raka tersenyum semanis mungkin, lalu tatapan matanya berbinar penuh permohonan menatap wanita dihadapannya.
"Mbak, boleh tolong bantu saya? Ketukkan pintu Tara untuk saya, supaya ia mau membukanya?" Cicit Raka seolah menyedihkan. "Saya... khawatir Tara masih kesal dengan saya.""Tentu. Mas tunggu sebentar, biar saya panggilkan."
Dengan semangat, wanita yang tidak Raka tahu namanya itu menekan bel kamar Tara beberapa kali. Benar kata wanita itu tadi, tidak perlu menunggu belasan menit, sosok sayu Tara keluar. "Mbak Cindy? Ada apa?" Tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.
"Malam, mbak Tara. Maaf saya mengganggu, tapi saya kasihan sama pacarnya mbak Tara. Sejak tadi duduk disana, ia pasti kedinginan."
"Pacar? Saya nggak-, Raka?"
"Kasihanilah pacarmu ini, Ra. Aku sungguh kedinginan. Apakah kamu masih belum mau memaafkan diriku?"
Dengan ekspresi bingung, Tara beralih menatap Cindy kembali. "Dia, sejak kapan ada disana mbak?"
"Sekitar dua jam yang lalu mbak.." Jawab Cindy dengan disertai dengan senyuman menggoda pada keduanya.
Serta merta Tara menatap tajam Raka. Seolah siap menerkam Raka jika saja apa yang dikatakan Cindy benar.
"Jangan lama-lama marahnya, mbak Tara. Kasihan mas nya, kalau ada masalah ya dibicarakan di dalam."
Sekali lagi, Tara menatap gemas Raka.
Lihat kan? Raka bego! Bikin Malu! Ngapain pakai acara drama segala sih? Biasanya juga langsung masuk.***
Dentingan sendok yang menyentuh sisi gelas menandakan pelaku sedang kesal. Jika saja si tamu tahu, Tara masih ingin melanjutkan tidur nyenyaknya. Jika saja gangguan bel tidak menyerbu pendengarannya, Tara pasti masih asik bergelud dengan selimut dan kasur empuknya.
"Nih, kopinya!" Ujar Tara ketus. Ia masih sangat mengantuk sekali.
"Jangan cemberut Ra, masa sama suami sendiri begitu.." Goda Raka, si tamu tak diundang dan tidak tahu waktu.
Tara tidak menggubris. Ia duduk bersandar malas di single sofa berhadapan dengan Raka. "Buruan cerita, ada apa? Awas aja kalau nggak penting! Nggak akan aku bukain pintu lagi kamu!"
"Nggak lucu Ra... Masa suami sendiri di-,"
"Stop sebut-sebut suami terus! Kamu tuh suaminya Nisa, jangan belagak bego terus amnesia gitu. Ambil kesempatan dalam kesempitan aja!"
Raka menghela nafas panjang. Dengan perlahan, ia menyeruput kopi hitam buatan isterinya.
Pahit.
Kopi buatan Tara rasanya pahit, entah sengaja dibuat pahit atau karena gulanya habis. "Besok pagi ke supermarket yuk, Ra?"
"Hah? Ngapain?"
"Beli gula."
"Gula?" Tara mengernyit bingung. "Gula masih banyak di dapur kok." Gumamnya lagi.
"Kopimu pahit, Ra. Pahit banget. Kukira gula nya habis?"
Mata lentik Tara mengerjap beberapa kali. "Pahit..?" Dengan cepat Tara menarik gelas kopi Raka, mencicipi kopi buatan sendiri.
"Hueekk.. Pahit Ka..."
Raka terkekeh geli melihat ekspresi Tara yang begitu konyol. "Pahit banget kan? Ku kira kamu sengaja mau ngerjain aku."
"Suuzon kamu tuh!"
"Yaudah deh, nggak papa kopinya pahit. Yang penting aku minumnya sambil liat kamu, kamunya kan manis." Mendengar itu, Tara menelan salivanya susah payah.
Biasanya, Tara pasti ingin muntah setiap mendengar guyonan Raka. Apapun yang Raka lakukan, semua tidak lebih dari sekedar guyonan konyol. Tapi kali ini, kenapa Tara merasa berdebar?
Tidak mungkin Tara tertarik dengan Raka kan? Raka loh, cowok aneh, dulu nerd, dulu kere, mesum dan.. ya tuhan, ini menggelikan kalau Tara sampai terpesona dengan Raka.
"Ra? Ayo sini, duduknya barengan disini dong.."
Tidak! Tidak! Tidak! Sadar Tara, ini Raka! Ra...ka! Bukan Tama!
"Nggak, aku disini-,akhh! Eh apasih main tarik-tarik segala!" Tara berusaha melepaskan cengkraman Raka dari tangannya. Yang jelas tidak bisa mengubah apapun, karena dirinya kini malah sudah duduk dipangkuan lelaki itu. Ditambah tubuhnya yang kini dipeluk erat oleh Raka.
Tara kembali merasa kacau. Jantungnya, berdebar menggila. Untuk pertanya kalinya selama mengenal Raka, Tara gugup. Lebih gugup dari saat mereka melewati malam pertama mereka.
"R-Raka, lepas!"
Raka tidak peduli. Diletakkan kepalanya di bahu mungil Tara. Yang meski mungil, rasanya begitu nyaman.
"Ra, maaf ya sudah bikin kamu malu didepan mbak-mbak tadi. Maaf juga soal tadi sore, aku sempat kembali lagi cari kamu disana. Tapi kamu udah pergi."
"...."
"Sebenarnya, aku sangat malu. Itu kenapa aku nggak berani ketuk pintu apartement kamu. Aku berniat nungguin kamu sampai kamu keluar, aku nggak masalah duduk disana sampai pagi pun. Walaupun dingin, aku merasa lebih tenang. Tapi ternyata, tetangga kamu yang terganggu sama kehadiran aku."
"Ra, terimakasih ya?"
"Untuk apa?" Tara menatap lurus mata Raka. Sialnya, ia menemukan banyak luka disana. Kemana coba lusinan makian dan kata ketus yang biasa tersedia untuk Raka? Kok sekarang seolah hilang tak bersisa.
"Untuk semuanya! Untuk Nisa, untuk pernikahan ini, untukku juga. Terimakasih, mau menerima ku yang banyak kurangnya ini."
Ini mengerikan! Tara mulai menggigil diserbu jutaan rasa... yang tidak bisa Tara jelaskan.
Dada Tara bertalu kencang manakala tangan Raka masuk ke dalam piyamanya. Meremas gundukan yang tidak terlindungi oleh bra.
"R-raka." Tara tak nyaman. Apalagi kecupan-kecupan lembut di tengkuknya turut menerpa tanpa henti. Tubuh Tara semakin bergetar hebat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SALAH RASA
عاطفيةRasa cinta bisa membuat dunia kita lebih berwarna. Tapi kalau jatuhnya pada orang yang salah, apakah cinta akan tetap indah? #27 Oktober 2021