21. Tama... [Revisi]

130 16 0
                                    


...

Sejak hari dimana ia datang ke butik Tara, Raka tidak bisa mendapatkan ketenangannya. Biasanya asalkan bersama Nisa, Raka selalu merasa baik. Tidak ada masalah berat yang tidak sanggup hilang jika ada Nisa disisinya. Tapi kenapa kali ini terasa berbeda?

"Sayang, apakah kamu sudah mendapatkan kabar tentang Tara?" Cuitnya pada Nisa yang sedang memasak nasi mie goreng kesukaannya.

"Belum. Kamu dari tadi diam karena mikirin Tara?"

Raka mengangguk. Ia tidak pernah menutupi apapun dari isterinya. "Sudah beberapa hari ini perasaanku nggak enak, sayang."

"I see. Aku juga memikirkannya, tapi kita juga jangan sampai lupa Tara bukan wanita lemah." Raka hendak membantah, namun ia urungkan. Nisa benar, Tara adalah wanita tangguh. Tapi tara tetaplah perempuan, dan Nisa tidak paham kekhawatiran apa yang ia rasakan.

"Semalam dia menguhubungiku melalui e-mail, kukira dia sudah berpamitan denganmu sebelum pergi. Itu yang dia katakan."

"Pamitan apanyaa?"

"Yaa, coba saja lihat e-mail milikmu"

Raka melotot tak percaya. "E-mail?" Secepat kilat Raka berlari mengambil laptopnya yang ada dikamar.

"Lihat kan? Suamimu sangat annoying!" Ketus suara dari ponsel Nisa. Sebenarnya, sejak Nisa mulai memasak, ia sudah melakukan panggilan video dengan Tara.
Lalu tiba-tiba Raka datang, Tara membisukan suaranya. Dengan tetap mengaktifkan video karena ia masih ingin melihat kegiatan memasak Nisa. Tapi Raka, bukannya bertanya dengan siapa Nisa melakukan panggilan, ia malah asik bermain game dengan ponselnya. Sampai tiba-tiba bibirnya menyeletuk karena sudah sangat kesal dengan Tara.

"Dia kan bisa check e-mail ku lewat hp nya, kenapa malah pakai ambil laptop dulu coba?" Nisa ikut tertawa mendengar ocehan sahabatnya yang memang benar. Suaminya ternyata annoying.

"Nah, udah selesai nih nasi goreng pake resep yang dari kamu tadi, aku cobain dulu yaa.." Nisa mengangkat satu sendok penuh nasi goreng hasil buatannya lalu ia masukkan dalam mulut. "Eumm.. ehnyak, enak resepnyaa!" Seru Nisa.

***

"Mbak Tara, kok bisa sih biasa aja sama mbak Nisa sih? Oke, Mbak memang lagi kesalnya sama Mas Raka, tapi kan itu juga karena mbak Nisa?" Celoteh Dinda begitu Tara mematikan sambungan videonya dengan Nisa.

"Memangnya aku harus gimana, Din?"

"Yaa.. he he, saya juga nggak tahu mbak."

Tara menggeleng pelan melihat cengiran polos Dinda. "Kesalnya sama Raka, ya sama Raka aja. Soal Nisa ya beda cerita lagi." Jelasnya santai, sembari mengusap lembut perutnya yang mulai membuncit.

"Dinda masih nggak ngerti Mbak.. Sama pemikirannya Mbak, kalau di pikirin terus bikin pusing ah."

"Kenapa jadi kamu yang mikir? Ini kan masalah saya?"

"Soalnya Mbak keliatan terus didepan mata Dinda mbak, gimana nggak kepikiran?"

"Jangan terlalu annoying Din, cari pacar sana!"

"Kenapa malah bahas pacar sih mbaakkk!" Protes Dinda tak terima. Tara terkekeh geli melihat wajah Dinda yang ditekuk. Ternyata tinggal berdua dengan Dinda membuat kadar kesepian menurun drastis.

"Oh iya mbak, Mas Dana itu dulu-,"

"Jangan nanyain Dana! Udah punya Ayu itu!" Potong Tara garang. Ia tahu diam-diam Dinda memang mengagumi Dana bahkan sejak Dana belum menikah dengan Ayu.

Di depannya, Dinda menunduk ketakutan. "M-maaf mbak.."

Melihat itu, Tara malah merasa bersalah. Dinda belum mengatakan apapun, tapi ia sudah main memotong pertanyaannya saja.

"Dana kenapa? Jangan nangis juga Din. Walaupun galak saya nggak akan makan kamu."

Dinda melirik takut-takut. "I-itu loh Mbak. Mas Dana kan, kemarin jemput mbak Ayu sama temannya Mbak. Mbak tahu nggak, siapa temannya Mas Dana?"

"Yang pake kemeja putih itu?"

"Nah, betul mbak. Terus rambutnya pakai poni ke samping."

"Udah punya tunangan, jangan tanya-tanya. Akhir tahun ini dia nikah!"

"Mbaaakkk, gitu banget sih. Dinda kan cuma tanyaa ajaa" Rengek Dinda.

"Udah deh, kamu sama Andi aja. Baik, nggak aneh-aneh walaupun yeah sedikit cuek." Saran Tara.

Tapi bukannya senang, Dinda justru meringis jijik mendengar nama Andi. "Si Andi-Andi itu? Yang sok ganteng dan songong? Hiihh ogah Mbak! Nggak ada jaminan juga kalau dia nggak jahat kayak Mas Tama."

"Dinda, nggak boleh gitu. Tama itu-,"

Drrrttt.. drrttt..

"Sebentar, mbak angkat telfon dulu. Dari Mama ini."

Dinda bangkit dari duduknya, namun bibir masih komat kamit karena menebak Tara pasti hendak membela Tama tadi.

"Hallo, iya ma?"

"....."

"Ma? Ada apa?"

"Ra,.. Mama tahu ini sulit." Detik itu, tubuh Tara terasa merinding. Ia merasa panas dingin dengan debaran jantung menggila menanti kabar dari mamanya. Nada ragu dan suara serak habis menangis jelas bukan pertanda yang bagus.

"A-ada apa sebenarnya, Ma?"

"Tama ternyata sudah menikah, Ra." Tara sudah tahu. Dan ia sangat lega jika hanya ini kabar yang ingin disampaikan mamanya, tetapi kelegaan yang bahkan belum terlalu berasa terhempas jauh ketika Mamanya melanjutkan kembali kalimatnya. "Dan isterinya baru saja meninggal, Ra. Bersama calon anak mereka.. hiks.. hikss"

Ini sadis!. Pikir Tara.

Tangisan mamanya masih bisa Tara dengar jelas. Sebenarnya Tara belum paham kenapa mamanya menangis sehebat ini. Mamanya menyayangi Tama, sangat. Tetapi menangis saat Tama yang kehilangan, dan itu bukan siapa-siapa mamanya, Tara belum bisa mengerti.

"Mama sangat sedih nak, sungguh. Mama sangat sayang Tama, nak. Mana mama tahu kalau sebenarnya Tama memiliki perempuan yang sudah ia sukai. Kalau mama tahu, mama pasti tidak akan.. tidak-hiks.."

"Mama tenang dulu, Ma. Tenang." Hibur Tara meski hatinya kacau.

"Ke-kejadiannya nggak akan seperti ini, Ra. Kalau kalian jujur. Mama merasa bersalah karena melimpahkan kekecewaan Mama tempo hari pada Tama. Tanpa Mama tahu, ia sedang berduka nak. Ia telah kehilangan isteri dan anaknya sekaligus bahkan sebelum Tama mengenalkannya pada Pak Adam.."

"Pulang ya, Ra? Mama takut, kasihan juga keluarga Pak Adam."

Tunggu, Tara semakin bingung sekarang. "Kenapa, kenapa Tara harus pulang Ma?"

"Tama melakukan percobaan bunuh diri, nak. Sudah dua kali, dan kali ini dia masih selamat. Kita nggak tau kalau ada percobaan yang kedua."

Prakkk.....

"ASTOFIRULLOH... Mbak Tara! Hape mahal jangan dijatuh-jatuhin Mbak!!!" Teriakan Dinda sama sekali tidak masuk dalam pendengaran Tara. Sebab, ia merasa otaknya... kosong.

***


Lama nggak nulis, sekalinya nulis, luuuamaa. Idenya pegi-pegi.

SALAH RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang