Tentang Perjanjian

140 15 1
                                        

***

"Kamu yakin, Nisa akan suka ini?" Tanya Raka penasaran. Ia tidak tahu bagaimana model dress yang disukai isterinya, Raka tidak paham fashion perempuan karenanya ia meminta bantuan Tara untuk memilih baju yang cocok untuk dikenakan Nisa pada Pesta Ulang tahun Kaisar nanti.

"Apapun dari kamu, Nisa pasti suka." Jawab Tara seadanya.

"Benar juga!" Rake tertawa kecil lalu memberikan gaun di tangannya kepada Tara. "Bungkus deh!"

Tara membawa dress itu kepada Dinda yang berdiri dimeja kasir. "Bungkus, ini punya Raka." Titahnya pada Dinda.

Tanpa menunggu, Tara berlalu ke dalam ruangannya. Ada Ayu dan Kala di dalam sana.

"Mbak nggak jadi ambil libur karena Mas Raka?" Tanya Ayu begitu Tara duduk disebelahnya.

"Hm.."

"Padahal mbak bisa serahin ke Ayu, biasanya kan Ayu yang handle." Kata Ayu.

Tara hanya diam ditempatnya. Apa yang dikatakan Ayu benar adanya, biasanya Ayu bisa menghandle. Ada banyak model dan warna dress terbaru yang cocok untuk ibu hamil, selera Ayu pun juga bagus. Tapi Tara juga tidak tahu, semakin hari, semakin sering ia ingin bertemu dengan Raka. Sangat aneh, dan Tara belum bisa melihat dengan baik apa yang sebenarnya harus ia lakukan.

"Mbak sudah makan siang?"

"Belum.." Tara menggeleng lesu.

"Ayo makan siang bareng, Kala biasanya suka makan seafood di-,"

"Sebentar lagi Tama datang, mau ambil Kala untuk makan siang."

"Ambil Kala? Sama mbak juga?"

Tara kembali menggeleng. "Enggak, Kala aja. Sekalian mau diajak ke kantor seperti biasanya."

Ayu terdiam dengan wajah masam. "Hubungan kalian masih belum membaik, mbak?"

"Hah.." Tara tertawa getir mendengar pertanyaan konyol Ayu. "Apa yang perlu diperbaiki, Yu? Diantara kita nggak ada yang salah. Pernikahan kita cuma sebatas perjanjian, dia ada hanya sebagai Daddy Kala. Nggak lebih!"

"Itu kan rencana kalian, Mbak. Nggak ada yang tahu kan, misal suatu hari nanti kalian benar-benar akan bersama?" Ayu tahu ia memang perempuan naif. Tapi ia tidak peduli, ia berharap cerita Tara dan Tama bisa berhappy ending seperti novel romansa bacaannya dulu.

"Jangan berharap terlalu banyak dengan manusia, Yu."

"Tapi manusia bisa berubah, mbak."

"Aku mengenal Tama selama 15 tahun, hampir lima Tahun kami menjalin hubungan. Dan belum bernah sekalipun ia mengingkari apa yang ia katakan. Sekali Tama bilang tidak mencintaiku, aku tahu selamanya akan seperti itu. Aku sendiri tidak tahu kenapa dia bisa sebegitu sayangnya dengan Kala."

"Kala kan anaknya, mbak. Wajar saja Mas Tama sangat sayang. Dulu dia pernah kehilangan, mungkin dia nggak mau kehilangan yang kedua kalinya."

"Terserah lah, kamu bela Tama terus."

"Mbak nggak cemburu sama Kala kan?"

"Jangan sembarangan, kamu!"

Keduanya larut dalam pembicaraan mengenai Tama. Tanpa menyadari jika sejak tadi, ada Raka yang berdiri kaku di balik pintu ruangan Tara yang terbuka sebagian.

Sementara matanya melotot tajam ke arah Dinda yang berdiri mengawasinya. Gadis itu bahkan gemetar saking takutnya dengan tatapan Raka.

Pelan sekali, Raka melangkah mundur. Ia mengambil tas nya dan kembali menghampiri Dinda.

Kali ini, ia bukan berdiri didepan seperti kustomer, melainkan tepat dibelakang Dinda. Membuat Dinda semakin kaku, apalagi saat rasa dingin saat ujung pisau menyentuh lehernya. Dinda benar-benar pucat.

"Saya yakin kamu paham, saya tidak sedang main-main. Jawab dengan benar pertanyaan saya atau pisau ini akan menembus lehermu." Bisik Raka halus, yang malah terdengar lebih mengerikan ditelinga Dinda.

"Kapan, perjanjian pernikahan Tara berakhir?"

Dinda tersentak kaget karena ujung pisau Raka telah menekan kulitnya. Ia bahkan merasakan perih sekarang.

"Dengar, saya tidak main-main. Kamu dan mereka benar-benar akan selesai hari ini juga, jika kamu berani bicara bohong.!" Ancam Raka lagi, dengan suara lebih halus dari sebelumnya.

Dinda meringis tertahan merasakan perihnya tusukan Raka. "Setelah anak kedua Mas Raka lahir. A-anak dari mbak Nisa."

Dinda sedikit lega karena ujung pisau itu tidak lagi menekan lehernya. "Lalu Kala, anak siapa itu?"

"Anak Mas Tama!" Dinda tidak tahu apakah Raka bisa membaca kebohongannya atau tidak. Tapi ia tidak bisa mengatakan kejujuran ini. Biarlah nyawanya melayang, sebab ia telah bersumpah pada Tara akan menjaga rahasia ini selamanya.

"Akh,.." Dinda menangis, begitu ujung pisau kembali menusuk lehernya.

"Saya tahu kamu bohong, Kala anak siapa?"

"Demi tuhan Mas, Kala anak Mas Tama. Mas Tama bilang ia mengadopsinya dari wanita malang." Isak Dinda pasrah. "Mas Raka bisa cari tahu kalau tidak percaya, Dinda tidak bohong."

Dinda memejamkan matanya. Ia benar-benar berserah diri jika Raka akan membunuhnya. Tetapi ia malah limbung ke belakang karena Raka suka menyingkir dan kembali berdiri didepan meja kasir.

"Terimakasih, Dinda. Sampaikan terimakasih saya untuk Tara. Nisa pasti suka baju pilihan sahabatnya." Ucap Raka ringan sebelum berbalik dan melangkah elegan keluar dari butik. Tubuh Dinda merosot ke lantai setelah Raka menghilang di balik pintu. Tangan mungilnya gemetar saat ia gunakan untuk mengusap air matanya.

Dinda ketakutan. Sebenarnya manusia seperti apa Raka itu? Yang terkadang baik, terkadang ramah, tapi bisa tiba-tiba berubah seperti monster.

"Dinda? Kamu kenapa duduk dilantai?" Mendengar suara bariton yang sangat dikenalnya, Dinda buru-buru bangkit dan menubruk tubuh indah Tama. Ia eratkan dekapannya hingga jiwanya kembali pulih.

"Mas Tama, maaf. Dinda.. kelepasan.." Cicit Dinda begitu menyadari apa yang baru saja dia lakukan.

Tama hanya mengernyit bingung tanpa bersuara.

"Mbak Tara ada di dalam ruangannya Mas, silahkan.."

"Lain kali, jangan seperti itu lagi." Ucap Tama datar sebelum berlalu.

Dinda menunduk malu. Tapi tidak apa, biasanya ia memang tidak punya malu. Ia tadi sangat ketakutan, siapa suruh Tama yang datang.

Baru saja Dinda kembali berdiri dibalik meja kasir, ponselnya bergetar dan sebuah pesan masuk.

Dinda melotot horor pada ponselnya.


- Tara dan Keluargamu sebagai jaminan, jika kamu berani bukan mulut.



***

SALAH RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang