Shock

105 17 4
                                    

***

"Mereka kembali lagi?"

Tara tidak bisa menahan pertanyaan itu begitu Raka tiba di apartementnya.

Tadi, ia memutuskan untuk putar balik saja dan pulang ke apartement. Tapi tak ada yang menyambutnya disana, tidak ada Dinda, Kala ataupun Tama. Dan sintingnya ia malah menghubungi Raka. Tara memang suka sekali mencari gara-gara sekarang.

Padahal, Raka mungkin sedang sibuk dirumah dengan Nisa. Padahal, butuh waktu lama yang harus ditempuh jika dari bogor menuju Jakarta.

Tetapi lelaki itu melakukannya. Ia tiba disini, menatapnya dengan tatapan penuh kelembutan seperti biasanya. Tersenyum begitu manis seolah sedang bersyukur hanya dengan melihat Tara ada dihadapannya. Jika saja Tara tidak mengenal Raka sejak kecil, ia pasti akan salah paham. Ia pasti mengira Raka tengah mencintainya, padahal Raka memang sebaik itu kan?

Raka yang masih berdiri di ambang pintu  mengernyit heran, tidak langsung menjawab namun ia melangkah lalu duduk tepat disamping Tara.

"Kenapa tanya soal Lava?" Tanyanya lembut.

Tara mencebik kesal. Bingung harus memulai dari mana jika itu tentang Lava. Sejak dulu, bocah itu selalu menjadi hal yang paling tidak ingin ia bahas bersama Raka. Tapi malam ini perlu, sebelum Tara tambah kesal dan bertingkah yang bisa menciptakan kekacauan.

"Kamu ketemu Lava?" Tanya Raka lagi.

Tara mengangguk lesu sebagai jawaban.

"Lalu? Kalian bertengkar lagi? Atau ada masalah lain, Ra?"

"Dia yang selalu bikin masalah, sekarang juga dia juga lagi bikin masalah lagi!" Ketus Tara sebal.

Raka menarik wanita itu dalam pelukan. "Maaf yaa?" Bisiknya lembut. Ia kecup kening Tara dalam. "Maaf banget atas nama Lava, dan juga aku."

Tafa mengerjap pelan dalam pelukan Raka. "Kamu nggak usah minta maaf, kamu ga salah!"

Tiba-tiba keinginan untuk mengusili Lava menguap sudah saat melihat ketulusan dalam permintaan maaf Raka. Niat Tara tadi ingin membagikan secuplik adegan tak senonoh wanita itu, sebagai publik figur tentu itu akan merugikan Lava sampai beberapa hari kedepan.

Tapi, lagi-lagi ia tak mampu. Atau mungkin tidak akan pernah mampu meskipun ia benci setengah mati.

"Nisa apa kabar?"

Raka memundurkan sedikit tubuhnya saat  mendengar pertanyaan itu. "Kamu lucu banget sih, kan bisa tanya langsung? Biasanya juga gitu kan?"

Tara menunduk lesu sembari menghela nafas panjang. "Aku nggak berani hubungi dia lagi setelah tante Ira datang kerumah Mama. Aku malu, dia pasti sudah tahu apa yang kita lakukan dibelakang dia." Cetus Tara lemah.

"Kamu takut dia marah?"

"Aku takut melihatnya sedih, apalagi itu karenaku."

"Ra,-"

"Ka? Aku harus gimana ya?" Desak Tara, memotong ucapan Raka.

Lagi, Raka menarik wanita itu dalam pelukan. "Just enjoy your life, i'm here, and loving you. Jangan memikirkan apapun oke?"

Jangan memikirkan apapun? "Jadi aku nggak perlu merasa bersalah?" Pertanyaan annoying, yang seharusnya nggak perlu Tara tanyakan lagi karena ia sendiri tahu apa jawabannya. Hanya manusia tidak punya hati yang tidak merasa bersalah setelah menyakiti sahabatnya sendiri.

"Ofcourse!" Dengar? Sekarang, Tara pikir Raka lebih tidak punya hati darinya.

"Jadi, kamu nggak akan jauhi aku setelah Kiasar kembali ke aku?"

"Ya, aku akan selali bersamamu dan Kai, selama apapun yang kalian mau. Kita dampingi tumbuh kembang anak kita sama-sama."

Tara terkekeh miris. Bukannya terkesan romantis, kalimat Raka malah terdengar menyedihkan ditelinganya. Betapa semua yang keluar dari bibir Raka sangat berbanding terbalik dengan peliknya keadaan sekarang.

"Tidur yuk? Kamu capek banget kayaknya. Aku pijitin mau?" Bisik Raka sensual tepat ditelinga Tara.

Tara menelan salivanya susah payah. Melihat wajah yang semakin mendekat kearahnya, hanya tersisa beberapa cm dari wajahnya. "R-raka ...?"

"Apa kamu bahagia setelah berpisah dariku?"

Tidak ada jawaban. Tara terlalu tegang bertatap begitu dekat dan lekatnya dengan Raka.

"Apa kamu juga merindukanku? Aku selalu hampir gila membayangkan bagaiman jika tidak bisa memelukmu lagi."

Wajah Raka benar-benar dekat. Hampir tak berjarak, hingga Tara bisa rasakan tiap hembusan nafas Raka. "Aku mengagumi kamu hingga hampir gila, mencandu seluruh tubuhmu, namamu, tatapanmu, hidupmu.."
Ingin sekali Raka mengatakan itu sekarang, tetapi lagi-lagi mulutnya kembali terkunci.

Dan malam ini Raka tidak pulang! Lagi!

***

"Mbak Tara, ada mbak Nisa diluar." Lapor Dinda pada bosnya.

Tara yang sejak tadi sibuk dengan design di tabnya pun mendongak kearah Dinda. "Nisa?" Ulangnya tak percaya.

Dinda mengangguk yakin. "Iya mbak, Mbak Nisa! Isterinya Mas Raka!"

"Suruh masuk kesini aja Din!" Titah Tara pada akhirnya.

"Iya mbak, siap!"

"Em, bawakan dua jus jeruk kesini ya, Din!"

"Oke mbak!"

Seperginya Dinda, Tara menarik nafas dalam. Diletakkan semua pekerjaan yang tadi sedang ia kerjakan. Untuk pertama kalinya, Tara merasa takut bertemu dengan Nisa.

"Boleh aku masuk?"

Tara mendongak mendengar nada lembut sahabatnya. "Kayak sama siapa aja sih Nis!" Tegurnya sungkan.

Tara amati seluruh pergerakan Nisa yang kini duduk tepat diseberang mejanya. "Apa kabar, Nis?"

Nisa begitu tenang dihadapannya, membuat Tara semakin salah tingkah. Memang beginilah rasanya menjadi orang yang bersalah. Tara menyesal, namun ia juga bingung harus bagaimana.

"Hak asuh Kaisar sudah kembali ke kamu, Ra."

'Alhamdulilah ....' Ucap Tara dalam hati.

"Aku juga minta maaf ya, atas insiden Mama Ira yang datang kerumah Tante Risa. Pasti beliau sangat marah. Aku sampai malu untuk menemuinya sekarang, karena telah membuat putri kesayangannya susah." Ucap Nisa tulus.

Mendengar itu, Tara kembali tersenyum kaku. "Nisa, kita sudah sepakat nggak membahas hal ini lagi kan? Aku sudah bilang aku iklas membantu kamu."

tok.. tok.. tokk..

"Mbak, ini jusnya... Silahkan..!"

"Terimakasih, Din." Ucap Tara. "Ayo Nis, minum dulu." Tara menawarkan sembari mengambil satu gelas miliknya. Ia butu air untuk melegakan tenggorokannya yang terasa kian mengering.

"Tara.." Panggil Nisa serius.

Tara mengangguk sembari menyedot cairan menyegarkan yang tadi dipesannya.

"Apa kamu mau, menikah dengan Raka?"

uhuukk.. uhuukkk uhukkk.....


***

SALAH RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang