***
"Ra? Tara? Hey!" Usapan halus di pipi putih miliknya mengambil paksa lamunan Tara.
Hangat.
Tangan Raka terasa begitu hangat dan nyaman. Tetapi kenapa Tara masih belum juga merasa tenang? Hatinya masih begitu gamang bahkan untuk memikirkan apakah yang ia lakukan sudah lah benar?
"Raka.." Panggilnya lembut.
Raka menarik sebelah alisnya dan tersenyum hangat. "Kenapa sayang?"
"Are you happy?"
"Pertanyaan macam apa itu, hey?" Raka mengerutkan keningnya. "Kamu ada masalah?"
"Nggak, aku hanya merasa.. Ini sedikit tidak tepat."
"Maksud kamu?"
Tara memandang jalanan yang terlihat dari kaca ruang kerja Raka. Tara sengaja mengunjungi lelaki itu karena perasaan gundah dihatinya semakin menjadi-jadi.
"Rasanya.. seperti tidak sedang berada ditempat yang seharusnya. Kamu.. Nisa.. lalu, Tama. Apakah kita tidak jahat dengan mereka?"
"Kenapa kamu berpikir seperti itu, sayang?" Raka berdiri tepat dihadapan Tara. Merangkum wajah mungilnya dengan tangan, menahannya agar wajah itu bertatap langsung dengan wajahnya.
"Raka, kamu sangat mencintai Nisa. Kita tidak seharusnya-,"
"Ssttt!" Raka menempelkan telunjuknya dibibir Tara. "Kamu terlalu banyak berfikir sayang. Nisa sudah pergi, tidak perlu membahas dia lagi. Saat ini hanya ada kita, kamu, aku, dan anak kita." Tegas Raka.
"Gimana kalau ternyata-,"
"Apa?"
"Raka.. Maaf.."
Tidak ingin perempuan yang ia cintai semakin berfikir macam-macam, Raka segera menarik Tara ke dalam pelukannya. "Sayang, takdirku bersama Nisa sudah selesai. Kita hanya perlu melanjutkan hidup sayang, ada anak-anak yang membutuhkan kita. Jangan terlalu berfikir banyak, tidak baik untuk kesehatanmu dan anak kita." Bisik Raka lembut. Sebelah tangannya masih menahan Tara dalam pelukannya, sementara sebelah tangannya yang lain mengusap kepala Tara.
"Kamu hanya perlu percaya padaku, Tara. Aku telah melalui banyak hal untuk mendapatkan ini. Kamu hanya perlu percaya, yang terjadi saat ini adalah apa yang aku inginkan. Aku sudah berusaha keras untuk ini." Tidak peduli jika Tara mendengar ucapannya seperti bualan. Raka hanya menyuarakan apa yang benar-benar ia rasakan.
Cinta pertama memang tidak selalu berakhir indah. Tetapi siapa yang tidak bahagia saat cinta pertamamu kini bisa kau rengkuh menjadi milikmu?
Raka pernah mencintai dalam diam. Mengagumi Tara begitu besar hingga membuat Tara jijik padanya. Raka pernah menahan perasaannya, supaya Tara tidak lari jika bertemu dengannya. Raka pernah berlaku sebagai teman, melibatkan Nisa hanya agar bisa melihat Tara dalam jarak lebih dekat.
Hingga pada saat Raka tahu perasaannya sama sekali tak pernah terbalas, ia mulai mengganti sosok Tara dalam khayalannya menjadi Nisa. Berusaha keras menerima Nisa yang selalu baik hati membantunya. Siapa sangka, saat Raka hampir saja berhasil, Tara malah kembali datang.
Dengan kepolosannya, mau menerima tawaran gila Nisa. Lalu Raka mulai berpikir, jika hal-hal gila bisa dengan mudah menarik Tara, kenapa dia tidak mencoba saja? Menghamili Tara saat tengah berstatus menjadi istri Tama adalah rencana terakhirnya saat ia hampir kembali kehilangan Tara. Dan kali ini Raka berhasil. Raka bersumpah, seribu kegilaan lain akan ia lakukan untuk membuat Tara terus disisinya. Apapun.
"Aku sangat bersyukur Tara, sangat! Jadi jangan tanya lagi apakah aku bahagia atau tidak. Kamu tahu jawabannya. Aku bersama kamu, sampai kita tua dan mati bersama."
Tara sedikit mendongakkan kepalanya. Pipinya terasa bersemu merah begitu mendengar bisikan lembut Raka. Astaga, ia merasa malu sekali. Resah yang tadi membelenggunya kini hilang dalam sekejap hanya karena pelukan dan bisikan-bisikan lelaki itu.
"Merasa lebih baik?"
"Iya." Jawab Tara serak.
Raka tersenyum lega. Bersamaan dengan kelegaan itu, kepalanya semakin menunduk kebawah. Bibirnya mencari bibir Tara untuk ia kecup. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Lagi. Lagi dan lagi. Kecupan kecil yang kemudian berubah menjadi lumatan.
"I love you, Tara."
Tara tersenyum tulus. "I love you too, Raka."
Bibir keduanya kembali menyatu. Di antara cahaya senja yang menerobos masuk, siluet keduanya terlihat begitu indah.
***
"Nenek sihir pasti mengutukmu!" Ketus Lava begitu melihat kakaknya memasuki ruang tamu. Sudah hampir dua minggu, Raka pindah kerumah orang tuanya. Alasannya tentu karena anak perempuannya butuh pengasuh, dan Raka bukan orang yang mudaj mempercayai siapapun untuk mengurus anaknya kecuali keluarganya.
"Kenapa kamu itu? Abangnya pulang kok malah kesel."
"Abang sih, gila! Kayak nggak ada perempuan lain aja selain Tara. Mimpi apa coba aku, sebentar lagi iparan sama dia?"
"Itu artinya kamu yang dikutuk penyihir." Balas Raka santai.
Lava memekik tertahan. Abang sialan!
"Damai kenapa sih dek? Udah tua, mau rebutin apa lagi?"
"Abang terus aja bela dia!"
"Terserah kamulah, abang capek! Mana Aurel? Udah tidur?" Kepala Raka mendongak ke atas. Mencari-cari keberadaan ibunya yang sudah pasti bersama Aurel.
"Aurel udah tidur. Di kamar Mama."
"Yaudah, abang mau mandi dulu kalau gitu." Raka baru saja hendak kembali melangkah, namun Lava menahan lengannya. "Abang yakin? Beneran mau nikah sama Tara? Tante Risa masih kayak nenek sihir loh bang, belum jinak."
Sebelah alis Raka kembali naik. "Terus?"
"Abang, ih!"
"Lava." Raka lepaskan cekalan adiknya. Ia berikan senyum terbaik kepada Lava, lalu ia pegang kedua pundak mungil Lava. "Jangan terus-terusan mengingat masa lalu. Hidup kita terus berjalan, dan kamu akan merasakan ketenangan kalau hati kamu damai. Kita harus berdamai dengan keadaan, lalu bangkit kembali. Kamu dan Tara hanya bertengkar dimasa lalu, bukan di masa sekarang. Tara perempuan yang kakak cintai, kamu tahu itu. Kamu harus ingat, dia adalah ibu dari anak-anak kakak. Ibu dari keponakan kamu, maka jangan lagi menganggap dia sebagai sangaian, Lava. Kalian akan menjadi keluarga."
Lava merasa bibirnya kelu. Ego dan logikanya bergelak berlawanan. Ingin sekali ia menolak dan membantah, tapi tidak mungkin pula ia tega mengusik kebahagiaan Raka. Lava tahu betul segila apa Raka terhadapa Tara.
"Ayo, kita bangkit bersama-sama?" Ajak Raka.
Lava mendongak dengan mata berkaca-kaca. "Aku coba deh, tapi kalau nanti Tara sakitin abang atau dis berani ketawain hidup aku yang kacau ini, abang jangan marah kalo ada perang ke 5!" Rengeknya sebal.
Raka tersenyum maklum. "Siap, tuan Putri!"
Setidaknya, ini akan menjadi awal yang baik untuk mereka.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
SALAH RASA
RomanceRasa cinta bisa membuat dunia kita lebih berwarna. Tapi kalau jatuhnya pada orang yang salah, apakah cinta akan tetap indah? #27 Oktober 2021