3. Keputusan

8.5K 423 8
                                    

Tiga hari sudah berlalu. Hari ini Zein dan keluarganya datang lagi ke rumah Azra. Jelas sekali, tujuannya untuk mendapat kepastian dari Azra.

Azra duduk pasrah di ruang tamu yang sudah dipenuhi oleh keluarganya dan keluarga Zein. Semalam dia tidak bisa tidur. Memikirkan jawaban apa yang akan ia berikan untuk keluarga Zein.

"Zein sekarang ngajar disalah satu pondok pesantren di jawa timur,  nak. Usianya 36 tahun, dia seorang hafidz Qur'an, dia datang kesini untuk bersilaturahmi ke rumah suadaranya yang ada di Jakarta. Bunda dan Ayah ngelihat kalau dia anak yang baik, ilmu agamanya juga baik dan dia anak yang sopan. Pokoknya menantu idaman Bunda banget deh".

Ucapan Bundanya kemarin malam terngiang jelas di telinga Azra. Bunda maupun Ayahnya terlihat sangat setuju dengan lamaran Zein. Walaupun Azra sempat protes masalah umurnya dan umur Zein yang terbilang cukup jauh selisihnya. Namun, protesnya dianggap angin lalu oleh Bunda dan Ayahnya.

Azra juga sempat mempermasalahkan tentang dirinya yang belum mencintai Zein. Namun, Bundanya bilang kalau cinta bisa datang kapan saja.

"Inget, Ra! Lo gak mau lagi, kan, salah milih cowo? Kesempatan gak dateng dua kali, Ra. Lo harusnya bersyukur karena baru putus dari Kafka langsung dapet Om Ustadz. Mana Om Ustadz Nya ganteng lagi".

Perkataan Najwa pun ikut terngiang di telinganya.

"Bagaimana nak Azra?" Tanya Abah Zein.

Azra menarik nafasnya, lalu, dia mengangguk.

___

"Sah"

Azra memejamkan matanya yang mulai berkaca-kaca. Lututnya terasa berat. Dadanya bergemuruh. Bundanya mengantarkan Azra ke Zein yang kini sudah berdiri di atas pelaminan.

Selama acara berlangsung, Azra lebih memilih diam. Sedangkan, Zein merasa tidak nyaman dengan Azra yang mendadak menjadi pendiam.

"Mikir apa?" Tanya Zein memecah keheningan.

"Cara malam pertama biar gak grogi, gimana, Om?".

Zein terbelalak. Kalau tahu jawaban Azra akan seperti ini, pasti dia akan mengurungkan niatnya untuk mengajak Azra ngobrol.

Zein memandangi Azra yang kini tengah melihatnya dengan ekspresi biasa saja. Perempuan yang sudah menjadi istrinya itu bahkan tidak terlihat malu karena telah mengatakan hal mesum kepadanya.

"Om?" Panggil Azra.

"Hm?"

"Gimana?" Tanya Azra.

"Jangan mesum disini. Nanti aja di kamar".

"Kelamaan, Om!"

"Astagfirullah! Gue gak denger, suwer!"

Azra maupun Zein terkejut mendengar suara Najwa. Mata Azra melotot ke arah Najwa yang sekarang sedang nyengir dengan kedua tangannya yang menenteng makanan.

"Najwaa!" Geram Najwa.

"Gue gak sengaja, suwer, deh. Lo lanjut gih, gue mau pergi. Om Ustadz nanti malem jangan ganas-ganas, ya. Kasihan sohib saya kalau mati habis malam pertama".

Azra mendelik sempurna ke arah Najwa yang kini berlari menjauh dari dirinya dan Zein.

"Itu teman kamu?" Tanya Zein.

"Iya" Jawab Azra.

"Pantesan".

Azra beralih menoleh ke Zein "Pantesan apa?" Tanyanya.

"Tingkahnya mirip!" Ucap Zein enteng.

"Om mau saya gibeng?".

Zein tersenyum "Emang kuat?" Tanyanya.

"Nantangin nih?".

"Enggak. Kalau mau gibeng saya nanti aja di kamar" Zein tersenyum menggoda ke Azra. Azra yang melihat senyum suaminya itu bergidik ngeri.

"Om mesum!" Ejek Azra.

"Saya mesum?" Tanya Zein.

"Iya lah!".

"Terus tadi siapa yang tanya soal malam pertama?".

"Kan, aku kepo, Om! Kalau gak mau jawab, yaudah, gak papa. Aku mau nanya ke Google aja!"

"Udah punya suami, ngapain mau tanya ke Google?".

"Biar lebih akurat!"

"Gak usah nanya-nanya. Kita lihat aja nanti di kamar" Senyum Zein semakin lebar. Namun, bukan senyum biasa melainkan senyum khas laki-laki dewasa alias senyum mesum!

Bulu halus Azra berdiri. Otaknya membayangkan apa saja yang akan terjadi didalam kamar nanti. Dia meneguk ludah kasar. Bayang-bayang kegiatan 'horor yang akan terjadi bersama Zein terus menghantui pikirannya. Dia takut.

"Gak usah aneh-aneh, ya! Saya masih kecil!" Azra mendelik sempurna ke arah Zein.

"Masih kecil tapi bisa diajak bikin anak kecil, kan?" Zein menaik turunkan kedua alisnya.

Refleks Azra memukul paha Zein cukup keras sampai laki-laki itu meringis kesakitan.

"Belum sehari nikah udah KDRT aja!" Ucap Zein sembari mengusap pahanya yang habis dipukul Azra.

Azra tak memperdulikan Zein. Dia berpikir keras bagaimana caranya menghindar malam pertama dengan Zein. Namun, sekeras apapun dia berpikir. Otaknya tetap buntu. Azra menghembuskan nafasnya lelah.

Bagaimana jika nanti malam Zein memperkosanya? Azra tahu bahwa Zein sudah punya hak untuk menyentuhnya. Namun, Azra belum siap. Dia sempat membaca sebuah artikel di Google, katanya malam pertama itu sakit. Azra semakin takut. Walaupun otaknya tidak polos lagi. Namun, Azra belum pernah mempraktekkan hal se-intim itu. Dulu, waktu Azra masih berpacaran dengan Kafka. Dia sama sekali tidak pernah berciuman dengan Kafka. Baik itu di kening, pipi, apalagi bibir. Mereka berdua hanya pernah bergandengan tangan.

Walaupun orang-orang mengenal Azra sebagai gadis yang nakal, urakan, dan bandel. Namun, mereka tidak tahu bahwa Azra masih memiliki prinsip. Apalagi dalam interaksi dengan lawan jenis.

Azra menatap ke arah Zein lagi "Aku mau ke Bunda dulu. Boleh gak?" Tanyanya.

Zein tersenyum "Boleh. Mau dianterin?".

"Gak usah deh".

Azra berjalan menuju Bundanya yang sedang menyalimi para tamu.

"Bund" Panggilnya.

"Loh, kok ada disini?. Ngapain suaminya ditinggal sendirian?" Tanya Bunda Azra.

"Aku mau ngomong bentar aja, Bund".

"Sini duduk dulu" Ucap Bunda Azra.

"Mau ngomong apa?" Tanya Bunda Azra.

Azra mendekatkan bibirnya ke telinga Bundanya yang tertutupi hijab "Om Zein mesum, Bund!. Dia ngajak malam pertama masa!" Ucap Azra kelewat polos.

Sedangkan, Bunda Azra terbelalak "Terus?".

"Aku takut, Bund. Om Zein kayaknya semangat banget" Ekspresi Azra tampak memelas.

Bunda Azra memukul kepalanya "Namanya juga udah sah jadi suami, Ra. Ya wajar aja lah!".

"Takut Bund takut!".

"Takut apasih, Ra?" Tanya Bunda Azra sedikit gereget.

"Sakit!".

"Halah!. Palingan ntar ketagian".

.
.
.
.

Om Ustadz||ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang