9.pengen nikah lagi?

7.2K 312 0
                                    

"Enak?" Tanyaku melihat ekspresi om Zein yang sedang menyantap sayur sop yang aku buat.

Sudah seminggu aku dengan om Zein tinggal dirumah baru kami. Seminggu ini pun aku selalu rajin memasakkan om Zein walaupun hasil masakanku kalau gak kemanisan ya hambar. Om Zein memang tidak pernah protes atau menghina masakanku tapi lama-kelamaan aku kasihan juga ke om Zein, takut-takut dia keracunan masakanku. Mana udah tua lagi, eh.

"Enak" om Zein selalu mengatakan itu saat aku bertanya tentang rasa masakanku. Aku menghembuskan nafas, aku tahu om Zein pasti sedang berbohong. Dia mengatakan masakanku enak karena ingin menghargai usahaku.

Aku coba mengambil sesendok sayur sop buatanku. Kali ini hasilnya beda dari hari-hari kemarin, jika biasanya masakanku rasanya manis atau hambar, kali ini masakanku justru keasinan.

"Asin" ucapku.

"Mas suka asin" ucap om Zein. Aku tahu dia mencoba menyenangkan ku.

"Gak usah dimakan deh. Ntar mala sakit tuh perut" ucapku.

"Mas suka asin, sayang".

Aku berdecak ke om Zein. Dia gak sayang sama perutnya apa?. Sudah seminggu loh aku kasih om Zein racun.

"Dek?" Panggil om Zein, setelah menelan makanan yang ada di mulutnya.

"Dalem, mas" Ucapku seraya tersenyum menggoda. Om Zein langsung salah tingkah, pipinya bahkan sudah berwarna merah.

"Adek tahu salah satu yang mas sukai setiap makan masakan Adek?".

Aku menggeleng.

"Setiap mas makan masakan Adek. Adek selalu bilang 'jangan dimakan, Mas. Nanti perutnya sakit. Saat adek bilang gitu ke Mas, Mas selalu merasa diperhatikan oleh Adek. Takut perut Mas sakit, ya?".

Aku sempat tertegun dengan ucapan om Zein. Jauh dilubuk hatiku, aku merasa kasihan dengan om Zein. Sikapku kepada om Zein selama ini belum baik, mala aku selalu merasa menjadi istri yang kurang ajar. Tapi meskipun sikapku tidak baik, Om Zein sama sekali tidak pernah memarahiku. Justru setiap hari om Zein semakin bersikap manis kepadaku.

Namun, jujur, ada rasa takut kehilangan di hatiku. Laki-laki sebaik om Zein pasti banyak yang mengangumi sosoknya. Aku takut, om Zein mulai muak dengan sikapku kepadanya, lalu mencari perempuan lain yang mampu memperlakukannya dengan baik. Bukan hal yang sulit untuk om Zein mencari perempuan lain di luar sana.

Aku kembali memperhatikan om Zein. Dia memakan lahap masakanku seakan rasa masakanku seenak makanan di hotel bintang lima.

"Om" ucapku.

"Hm?" om Zein melihat kearah ku.

"Cari pembantu aja deh, ya?" Sudah cukup rasanya. Kasihan juga om Zein jika setiap hari harus memakan masakanku yang rasanya gak jelas seperti tingkahku.

"Boleh" aku tersenyum mendengar jawabannya. Baguslah, dengan begini tidak ada drama kemanisan, hambar, atau keasinan lagi.

Aku menatap om Zein yang masih sibuk dengan ritualnya.

"Kata orang kalau makanannya keasinan artinya pengen nikah" aku mengatakan itu dengan sedikit cekikikan.

Om Zein langsung mendelik kearah ku dengan mulut yang masih mengunyah makanannya.

"Apa kamu bilang?" Ucapnya setelah menelan nasi yang ada di mulutnya.

"Kata orang kalau makanannya keasinan artinya pengen nikah" aku mengulangi perkataan ku tadi. Wajah om Zein langsung berubah 180° masam. Aku ingin tertawa rasanya melihat ekspresinya.

"Kamu pengen nikah, lagi?" Tanyanya geram. Aku semakin semangat untuk menggodanya.

"Emang boleh?" Tanyaku dengan nada yang sengaja ku seriuskan.

Om Ustadz||ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang