37. Ici punya nomor Kafka?

2K 120 7
                                    

"Nanti nitip cilok yang di pinggir jalan itu ya, Mas".

Zein mengangguk sembari memperhatikan Azra yang tengah fokus menyisir rambutnya. Zein sudah bersiap untuk pergi mengajar di Pondok. Sebenarnya, hari ini Zein enggan untuk pergi mengajar karena di Pondok dia akan bertemu dengan Kafka.

Kemarin, kejadian di pasar cukup membuat dirinya terkejut. Dia tak mengira, bahwa Kafka yang ia kenal adalah Kafka mantan pacar dari istrinya. Walaupun kemarin Azra menolak cilok pemberian Kafka serta Azra yang selalu berusaha menjaga jarak dari Kafka. Namun, rasa cemburu di hari Zein tidak bisa ia bohongi. Katakanlah, Zein kini seperti anak ABG yang tengah dimabuk-mabuknya dengan cinta.

Zein kembali memandangi istrinya. Dia mampu merasakan bahwa rasa Azra ke Kafka sudah hilang. Namun, Zein juga bisa melihat bahwa masih ada rasa di hati Kafka untuk istrinya.

Hatinya semakin gelisah. Rasa cemburu dam khawatir kini menjadi satu. Apa salah jika dia melarang ketat istrinya agar tidak berkomunikasi lewat apapun dengan Kafka?. Namun, Zein takut karena perbuatannya itu, Azra akan merasa terlalu dikekang olehnya. Karena, banyak sekali pasangan yang terlalu dikekang, justru potensi perselingkuhan semakin besar.

Zein menggelengkan kepalanya. Astaghfirullah, kenapa dia bisa berfikir istrinya akan berselingkuh.

"Astaghfirullah". Gumam Zein.

"Kenapa, Mas?" Tanya Azra.

"Gak papa. Mas, berangkat dulu ya. Nanti Mas beliin cilok kalau udah selesai ngajar". Ucap Zein.

"Iya, Mas. Semangat ya, ngajarnya".

Zein tersenyum "Sini cium dulu".

Pipi Azra memerah, dengan malu-malu ia memajukan wajahnya ke Zein. Kecupan bertubi-tubi Zein daratkan di wajah Azra. Mulai dari pipi, kening, hidung, dan terakhir bibir Azra.

"Manis" Ucap Zein setelah mencium Azra.

"Udah ih. Aku malu, mas".

__________

Dari kejauhan, Zein memperhatikan laki-laki yang sedang duduk di bawah pohon, Kafka.

Kafka itu tampan, putih, dan masih muda. Umurnya masih sepantaran dengan umur istrinya. Beda dengan dirinya dan Azra. Istrinya baru berusia 19 tahun, sedangkan, dia sudah 36 tahun. Selisih usia yang cukup jauh.

Zein membuang nafasnya dengan kasar. Dia merogoh saku dan mengambil ponselnya.

Zein:

Jangan kemana-mana. Mas, bentar lagi pulang.

Terlihat pesan yang Zein kirimkan kepada Azra sudah centang dua biru-biru.

Istriku:

Iya, Mas. Tapi, jangan lupa ciloknya ya.

Zein:

Cium dulu. Baru Mas beliin ciloknya.

Istriku:

Iih, modus!.

Zein terkekeh membaca pesan dari istrinya. Ah, dia sangat merindukan istrinya yang sangat menggemaskan itu.

Zein:

Yaudah, gak jadi Mas beliin ciloknya.

Istriku:

Yaudah, gak ada jatah selama seminggu.

Zein mendelik sempurna membaca pesan dari Azra. Apa-apaan ini?. Sungguh, ancaman istrinya ini sangat merugikan untuk Zein.

Istriku:

Eh, dua minggu deh. Kalau cuma satu minggu kecepetan.

Belum juga selesai keterkejutan Zein, sekarang dia harus melihat ancaman istrinya yang sangat kejam menurutnya.

Om Ustadz||ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang