49. Mazidah Hamil

2.2K 114 12
                                    

"Kekurangan bukan alasan buat Mas berpaling dari kamu, Sayang".

Azra menatap serius ke arah Zein yang melayangkan tatapan lebih serius lagi. Azra mencari setitik kebohongan dari manik mata suaminya, namun, nihil. Yang Azra lihat hanya ada kejujuran.

Azra menarik nafasnya. Matanya kembali menatap tubuhnya dari pantulan cermin. Memasuki usia kehamilan tujuh bulan membuat tubuhnya terlihat semakin menggemuk. Azra merasa tak nyaman, atau lebih tepatnya ia merasa insecure. Tubuhnya yang dulu ia jaga sekarang sudah berubah drastis.

Awalnya, dia sama sekali tak mempermasalahkan berat badannya yang berubah. Namun, hinaan dari teman-teman kuliahnya membuat dia setiap merasa semakin kecil. Zein sudah berulang kali mengatakan bahwa dirinya tetap sempurna. Bahkan tak jarang suaminya itu mengajak dia liburan agar pikirannya kembali fresh. Mungkin segala hal telah Zein lakukan agar Azra tak merasa sedih lagi. Bahkan waktu kehamilannya menginjak tujuh bulan, Zein rela bolak-balik Jakarta-Pasuruan. Namun, usaha Zein sama sekali tak membuahkan hasil.

Zein menggenggam tangan Azra erat. Hatinya penuh rasa khawatir dengan kondisi Azra dan bayinya. Entah, dengan cara apalagi yang harus dia lakukan. Zein pernah menegur keras mahasiswanya karena telah melakukan bullying kepada Azra. Namun, semua tindakannya lagi-lagi tak membuahkan hasil.

"Putus kuliah?" Ucap Azra tiba-tiba.

Posisinya masih sama. Azra duduk ditepi kasur dan didepannya ada Zein yang sedang duduk menghadap dirinya. Jarak mereka sangat dekat. Bahkan hidup Azra dan Zein nyaris bersentuhan.

"Putus kuliah?" Tanya Zein. Jujur, dia sangat terkejut. Bukankah dulu Azra sangat memimpikan gelar sarjana?.

"Mas malu kalau aku putus kuliah?".

"Malu kenapa?".

"Karena gak punya istri berpendidikan" Suara Azra terdengar parau. Matanya mulai berkaca-kaca.

Zein menggeleng "Mas mencintai kamu dari hati bukan dari mata" Tukas Zein.

"Aku gak mau kuliah lagi!".

"Kamu yakin?".

"Aku yakin!".

"Oke".

___

Azra mematikan ponselnya. Kepalanya terlalu pusing melihat deretan pesan dari Nisa dan teman-temannya yang bertanya kenapa dia putus kuliah begitu saja.

Jika ditanya apakah dia tidak sedih karena putus kuliah. Maka jawabannya, dia sedih. Kuliah dan menjadi sarjana adalah impiannya. Dulu, dia selalu bermimpi untuk menjadi wanita karier yang sukses. Namun, angannya harus pupus ditengah jalan.

Azra akui dia lemah. Hanya karena hinaan manusia dia memilih menyerah. Namun, sesak di hatinya setiap hari semakin menjadi-jadi. Semua hinaan yang ia dapat semakin membuat dia merasa kecil dan buruk. Entah, karena faktor hamil atau bukan. Tapi, Azra hanya ingin lari dari teman-temannya yang membuat hatinya tak tenang.

"Dek?".

Azra terkejut saat merasakan tepukan halus di pundaknya "Mas?" Ucapnya.

"Ngelamunin apa?" Tanya Zein.

Azra menggeleng. Dia menyunggingkan senyum terpaksanya. Tangan Azra terulur menggenggam tangan Zein.

Om Ustadz||ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang