─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
MASIH berada dalam masa-masa penyesuaian lingkungan belajar, barangkali sampai hari sabtu angkatan baru Atraxia memiliki waktu belajar yang longgar. Mengingat guru-guru hanya mengadakan jam perkenalan sebelum meminta mereka menggunakan durasi senggang sebelum padat pembelajaran menyerang kebebasan. Oleh karena itu tampaknya Joanna sudah muak dan jengah mendengar Ghaitsa kerap undur diri lebih awal, tepat setelah bel pulang berbunyi nyaring tiga kali.
“Di rumah lo ada apa, sih? Ada pangeran berkuda putih yang bucin mampus sama lo sampai nggak bisa ditinggal gitu?” tandas Joanna jengah, dia merotasikan mata kala membanting pelan tas ke meja. “Gue sama Naya udah dua kali mampir pulang sekolah ke rumah Zira. Masa lo pulang duluan terus, sih, Sa?”
Ghaitsa sontak meringis. Ah, bagaimana cara dia menerangkan kronolgi yang sudah terjadi, ya? Dua hari lewat, sang puan enggan menyebarkan aura negatif sebab bersitemu dengan Aubrey. Tidak enak rasanya harus berbagi suasana hati buruk pada mereka yang ingin bersenang-senang, pun dilandasi percuma saja dia bergabung bila jiwanya tidak berada di sana, bukan? Kemarin juga begitu, Ghaitsa merasa dia harus mengusut tuntas benang kusut di kepala sebelum membebani orang-orang dengan muram dan mendung wajah yang tengah berpikir kelewat keras.
Dia mengatupkan tangan di depan wajah, nyaris saja berlutut meminta ampun seperti tokoh utama pada drama korea. “Kepada teman-teman cantikku, gue udah terlanjur bilang iya dan nggak enak batalin gitu aja. Serius, deh. Janji, besok gue ikut main tapi hari ini izinin dulu. Jangan ngambek gitu, ya-ya-ya?”
Berkat kesibukan Alexzandra bersaudara pada tahun ajaran baru ini ditambah Archie yang sering lembur. Lemari kabinet penyimpanan bahan makan mendadak menyisakan ruang teramat luas sampai-sampai Ghaitsa berpikir dia bisa tidur di sana; hiperbolis. Terkhusus hari ini mereka berlima tidak bisa sarapan sehingga Archie memberikan amanat pada dua termuda, Yaziel dan Ghaitsa untuk berbelanja bulanan. Ah, jika saja pedagang sayur keliling tidak absen berjualan, sang gadis tidak akan serepot ini sekarang dalam menenangkan teman-temannya. Huft! Jujur saja, energi Ghaitsa mendadak terkuras setengah.
Memasang air wajah keruh dengan bibir mengerucut kecil. Kanaya melontarkan dugaan pedih seakan dia adalah orang yang paling terluka di muka bumi ini. “Atau jangan-jangan lo nggak suka temenan sama kita dan ke paksa harus temenan karena sekelas makanya lo selalu pulang cepet padahal najis deket-deket kita?”
Well, Ghaitsa akan menyarankan prospek karir sebagai seorang penulis pada Kanaya yang memiliki karangan sebagus itu. Sayang sekali bila terpendam demikian. Tatkala ingin menyahut, Joanna terlebih dahulu merespon dramatis sembari memegangi dada. “Haah?! Lo mandang kami semua orang aneh?”
Errr! Bila menjawab, “Nggak sepenuhnya salah, sih.” bisa-bisa kedua perempuan tersebut akan merajuk berhari-hari bak ditinggal pergi sang kekasih merantau melintasi benua. Oleh karena itu Ghaitsa buru-buru menggeleng bersama dua tangan mengibas di udara. “Suka, kok, suka!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...