─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
SEKALI atau dua kali barangkali wajar bila Ghaitsa merasa dirinya diperhatikan. Pada faktanya, dia manusia yang hidup bersosial bersama manusia-manusia lain di muka bumi ini. Maka dari itu dia tidak ingin sok percaya diri ditatap sepanjang jalan menuju kelas akibat teriakan laki-laki aneh di kantin kalau-kalau Joanna tidak mengutarakan kekesalannya pada orang-orang tersebut. “Liat apa lo pada, hah?! Gue colok juga tuh mata. Iya! Temen gue cakep, mau apa lo?! Nggak suka?! Nggak seneng?! Adu otot kita!”
Ghaitsa buru-buru menarik lengan Joanna segera pergi dari sana, dia tidak membenarkan perilaku sang kawan walau dirinya kurang nyaman akan atensi yang mereka berikan. Beragam makna sorot mata. Dia menghela napas. Mereka halal buat gue rajam pulang nanti, monyet emang!
“Duh, Sa! Lo ajak tauran aja mereka,” sungut Joanna, mukanya berlipat-lipat saking kesalnya.
Kanaya mengangguk, gadis itu nyaris menyodorkan cakaran kuku cantik terpoles dengan pola-pola gambar penuh estetika jika saja Yezira tidak terlebih dahulu mengamankan. “Gedeg banget gue!” tandasnya. “Mereka ngeliat lo tuh bukan sekedar ngeliatin, anjing! Seolah bertanya-tanya, ini nih cewek yang disebut-sebut Elvan? Dih, bangsat! Tadi harusnya gue gerus mulut si cowok burik sialan temen setan itu!”
“Napas dulu, napas dulu.” Yezira memperingati seraya membagi permen rasa stroberi pada mereka. Dia duduk di samping Joanna ketika mereka sampai pada tangga lapangan di depan kelas. “Emangnya Ghaitsa kenal sama anak-anak itu? Kok nunjuk-nunjuk lo?”
Cuma dua orang selebihnya kagak. Ghaitsa menggeleng perlahan, mengembuskan napas berat dan menjawab. “Nggak, Ra. Gue aja kaget tadi ditunjuk gitu. Apaan coba. Kesel sebenernya tapi yakali gue ajak baku hantam. Jelas kalahlah.”
“Woah! Jangan khawatir, bestie.” Kanaya menepuk-nepuk dada kirinya, berbangga diri dengan senyuman sombong. “Gue atlet taekwondo walau nggak pernah ikutan lomba karena dilarang orang tua. Tapi gue bisa bonyokin muka mereka, lo nggak usah panik.”
Joanna setuju pangkat seratus dan bertos ria dengan Kanaya. “Gue juga, anak karate. Jangan takut, kita hadapi bersama.”
Dan sekarang Ghaitsa bingung harus merespon apa selain diam kemudian mendongak guna melihat angkasa masih eksis di atas sana. Seorang diri, besar dan luas serta memiliki kemampuan mengusir apapun yang berniat menganggu sebab dia kapabel hidup seorang diri tanpa bantuan orang lain. Ghaitsa juga ingin demikian, tetapi mustahil bukan?
Dia mengulas satu lengkung indah, menerbitkan kerutan menggemaskan pada sudut mata satu sekon setelahnya. Hai, Yang Ada Di Langit. Bagaimana kabarnya? “Aisa rindu,” gumam Ghaitsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...