BAB 57 : Palung Jiwa

1.1K 226 24
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───

SESAK menyatu dalam pedih paripurna yang mencekik jantung, tempat di mana hidup bermula. Mengawali satu detak menuju retak sampai-sampai benda itu telah tenggelam menuju lautan mati tak berujung. Bersatu bersama duka akal-akalan dunia yang nyatanya sanggup merenggut kewarasan. Sebab, walau ia masih berdenyut, tenggelamnya jiwa sudah tidak bisa lagi ditanggulangi. Lantaran telah babak belur membiru atma rapuhnya, tercekat kerongkongan dalam pelarian, sekarat sudah hanya untuk bersua kembali dengan gemelugut dingin nan membungkus raga kepalang kuat.

Dahi puan tersebut mengerut samar kala mencium aroma memuakkan lewat napas lemah yang panas. Tatkala berjuang membuka kelopak mata, sebuah suara familiar mengetuk gendang telinga.

“Pendingin ruangannya dimatiin aja, Je. Joanna demam begini AC-nya malah dinyalain.”

Ah, Ghaitsa dan kembarannya yang menjengkelkan, Jeviar.

Seusai mematikan air conditioner dan meletakkan remote control ke tempat semula. Laki-laki berperawakan jangkung tersebut melangkah mendekati ranjang Joanna guna mengecek suhu tubuh si empu. Dia mengangguk pelan, “Panasnya lebih mendingan daripada yang tadi,” ucap Jeviar lugas. “walau masih abnormal.

Puan semanis rembulan itu mengedarkan irisnya menuju sekitaran ruangan. Enam ranjang tersedia dan cuma Joanna yang mengisi salah satunya. Ah, akan sangat sunyi sewaktu malam menjemput nanti sehingga Ghaitsa telah memutuskan, “Gue mau nginep nemenin Joanna malam ini.”

Mendengar penuturan lawan, sang lelaki menoleh dengan ekspresi galak berbalut dingin. “Nggak, lo pulang.”

Astaga, ditolak mentah-mentah. Ghaitsa buru-buru mendekat dan mengekori sulung kembat tersebut sembari merengek. “Jejee~” bosan berjalan kesana-kemari lantaran sang lawan menghindari tatapan, sang puan menarik dasi Jeviar agar mau bertemu pandang. “Lo nggak kasian sama Joanna yang bobo sendirian gini?”

“Yezira? Kanaya? Emang mereka nggak bisa?”

“Jejee~ Zira udah bantu bayarin tagihan rumah sakit Joanna plus minjemin mobilnya buat ke rumah sakit meskipun elo yang nyetir. Bundanya Kanaya dokter di sini, jadi Joanna bisa ditanganin dengan cepat. Gejala tipus nggak main-main, lho, kalau sampai telat penanganannya. Gue belum bantu apa-apa, Jeje!” papar Ghaitsa, berusaha terdengar semenyedihkan mungkin. “Kasian nggak ada temennya.”

Dengusan sebal mengudara bersama rasa penat dalam bertarung emosional dengan gadis keras kepala ini. Jeviar mendesah berat sebelum mendudukkan diri pada daun jendela dan menarik lengan Ghaitsa memasuki dekapan guna mendaratkan dagu pada bahu lawan. “Lo udah janji nemenin gue tidur seminggu ini sebelum turnamen basket, Aisa. Permintaan gue sesederhana itu.”

“Kelapangan hatinya sekali ini, ya, Je, hm?” Ghaitsa mengusap lembut area belakang kepala sang kembar sebelum mengusak pipi di atas lebatnya rambut hitam legam tersebut. “Abis itu gue janji bakalan nurutin apapun keinginan lo. Gue janji, serius.”

Story Of Ghaitsa | Zoo UnitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang