─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
MEMBENTANG kisah seluas lautan dengan cakrawala sebagai manifestasi dari afeksi hati. Awan sebagai pelengkap dari rentetan adegan yang akan menjadi sisa-sisa nan kian lama akan tergeser hembusan angin. Tergantikan oleh guruh ataupun petir penuh duka serta kerisauan tak tertahan, dan bila beruntung pelangi akan datang, kupu-kupu pun berterbangan di udara, penuh suka cita. Sebagaimana orang dulu katakan, sesudah hujan akan terbit pelangi. Namun jikalau sial, cakrawala hanya akan diisi gemuruh nan menggertak raga.
Barangkali, demikianlah proses manusia hidup, bukan?
Berusaha merajut kasih dengan harapan paling tinggi inginkan hasil yang cantik meski jari berkali-kali tertusuk jarum dan berdarah. Namun harapan takkan goyah, justru semakin tinggi semangat untuk membangunnya jauh lebih kokoh. Akan tetapi, apakah benar orang-orang merasakan semua tahap demi tahap nan merenggut tenaga serta kesadaran berulang kali? Menendang kokoh hingga rubuh dan membiarkan harapan kembali ditegakkan hanya untuk lagi-lagi dihancurkan.
Sebab, tawa renyah yang mengudara dari kerumunan penduduk Atraxia di kantin seakan-akan tidak mencerminkan runtutan itu. Mereka tampak bahagia. Mereka terlihat senang. Mereka tampak normal.
Mengapa cuma Aubrey yang berbeda dari kebanyakan manusia setelah semua perjuangan dan usaha keras yang ia berikan?
Tangan sang puan terkepal sempurna untuk pelan-pelan memerah sampai memutih lantaran semakin kuat kuku tertancap pada telapak telapak tangan. Sorot mata tertuju pada satu hal. Memandang lurus tanpa ingin bergeser sedikitpun bersama napas memburu mencerna setiap sikap atau tindakan yang objek lakukan. Seolah-olah dia sedang mempelajari ulang bagaimana cara bercerita, tertawa, barangkali juga teruntuk pukulan demi pukulan ringan penuh afeksi pada lengan dan seberapa sering obsidian itu tersenyum semirip bulan sabit.
Dada bergemuruh hebat. Iris menyorot tidak suka. Kepala pun tidak mau tenang, berisik bukan main sampai-sampai Aubrey tidak bisa menahan diri lagi. Dia tahu eksistensinya takkan dihiraukan Ghaitsa lagi meski ratusan kali mereka berselisih jalan, oleh karena itu dia berbisik mengejek tatkala bahu bergesekan pada jam makan siang di kantin yang sesak manusia begini.
“Alasan nyokap lo dibuang itu karena dia sama-sama nggak istimewa ataupun spesial kayak lo, Ghaitsa. Sebatas manusia dalam tempurung. Kehadirannya nggak pernah diharapkan atau dibutuhkan.”
Ghaitsa berhenti melangkah, sepasang obsidian itu bergetar ketika menengadah dan membulat sempurna seiring waktu berjalan bersama perasaan berkecamuk bukan kepalang. Telinga pun berdenging ngilu. Gemeletuk gigi sewaktu rahang mengeras membuat Ghaitsa menahan napas sesaat sebelum berbalik memandang nyalang lawan yang menerbitkan senyuman miring nan meremehkan.
Jangan senyum! “Maksud lo?”
Jangan dijawab! “Memang seharusnya kalian nggak pernah hadir di tengah-tengah cerita tokoh utama, Ghaitsa. Para pemeran pembantu nggak pernah terlalu dibutuhkan,” ujar Aubrey, irisnya memandang remeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...