─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
MENURUTMU seperti apa suasana pagi itu?
Apakah ibarat menikmati secangkir cokelat hangat, berpadu dengan manisnya aroma roti bakar yang baru saja diangkat dari panggangan? Atau berupa kegiatan menikmati semilir angin segar nan menyatu lembut dengan semerbak wangi sejuk serta menyegarkan tanah dan rerumputan yang tersiram embun pagi? Bukankah berupa hawa dingin dan pemandangan mentari yang mengendap-endap muncul dari ufuk timur merupakan sebuah harmoni antara ketenangan dan hangat? Bagaimana dengan pendapat kalian? Suasana pagi itu sesungguhnya di gambarkan seperti apa? Mulai dari latar tempat, suasana dan kondisi emosional yang di rasakan.
Kalau-kalau kalian bertanya, bagi Ghaitsa pagi itu terasa seperti bencana.
Ayo dunia, lekaslah kiamat!
Ghaitsa sudah tidak sanggup lagi!
Mari mundur beberapa belas menit yang lalu sebelum situasi berubah ribut dan kacau. Telah pernah ia katakan sebelumnya, bukan? Ghaitsa adalah orang yang belajar dari pengalaman. Kesalahan adalah guru besar baginya agar hidup jauh lebih baik ke depannya. Oleh karena itu usai Ghaitsa mendengar semua keluh kelas Jeviar kemarin malam dan serentetan pernyataan dari Yaziel secara lengkap. Ghaitsa telah menyusun rencana jikalau hari ini dia akan menghabiskan waktu dengan dua kembar. Memang tidak di katakan secara langsung dan lisan akan tetapi Ghaitsa bertekad demikian di dalam hati. Bisa di katakan dia berjanji kepada dirinya sendiri. Hei, bukankah ini jauh lebih baik daripada mengucap di bibir dan kemudian justru mengingkarinya begitu saja? Ini jauh lebih keren, bukan?
Yah, setidaknya itu adalah pemikirannya sebel perdebatan tidak berguna dan hanya buang-buang waktu ini pecah di meja makan.
"Nggak. Nggak ada! Aisa berangkat bareng gue!" Jeviar meletakkan garpunya kuat-kuat, memandang tidak senang kepada lawan bicara lewat ekspresi kepalang serius dan menambahkan tegas. "Gue nggak akan ngalah lagi kali ini. Aisa berangkat bareng gue pokoknya. Titik!" tandasnya tidak mau lagi bernegosiasi dalam bentuk apa pun. Ia harus menang kali ini.
Anak kembar tentu selalu punya sedikit banyaknya kesamaan. Untuk hal ini keras kepala mereka berdua sama persis, oleh karenanya Yaziel juga ikut memperkuat tekad dalam dada. Dia juga benci kekalahan. Pemuda beriris tajam itu menggebrak meja dengan gelas di genggaman, menatap nyalang pada sulung kembar tiga di seberang meja dan tersenyum miring; terlihat seperti seringaian mengejek. Yaziel menggeleng penuh penekanan. "Nggak ada hak lo buat ngatur-ngatur Aisa. Panitia bukan! Donatur juga bukan! Seenak udel lo aja ngatur-ngatur adek gue. Kagak ada! Kagak bisa! Aisa berangkat sama gue hari ini!" tekannya.
"Nggak! Sama gue!"
"Yee, di kata gue peduli sama keinginan lo! Enggak, ya! Bodo amat! Aisa bareng gue, titik!"
"Gue! Lo jadi adek kudu ngalah!"
"Gue nggak berminat jadi adek baik hati dan penurut. Jadi sekali enggak ya enggak! Aisa bareng gue hari ini, lo besok aja!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...