─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
TOLONG tampar saja Ghaitsa sekarang!
Tolong. Ini akan membuatnya segera sadar dengan tujuan dan niat awal datang mengunjungi tempat Johan bekerja, yakni untuk mengembalikan kartu kredit berwarna abu metalik mengkilat tersebut. Namun sekarang sudah melenceng menjauh. Rencananya hanya menjadi wacana! Ya Tuhan, Ghaitsa pusing tujuh keliling saat ini. Mohon berikan hamba penuh dosa ini pencerahan, Ya Tuhan!
Sial.
Tapi tunggu sebentar.
Omong-omong ini bukan salahnya. Ini jelas-jelas salah Johan. Mengapa sang ayah mengajaknya untuk jalan-jalan sebentarㅡah, tidak! Maksudnya, mengapa Johan meminta Ghaitsa untuk menemani sang ayah pergi ke suatu tempat? Ayahnya sudah jelas bukan seorang anak kecil lagi sampai-sampai harus di temani segala. Dan lagi pula, mengapa Johan harus menggunakan kartu orang tua sekarang, sih? Ghaitsa sudah pasti tidak bisa menolak. Betul sekali, ini permintaan berkedok paksaan dari Johan sampai-sampai Ghaitsa tidak sampai hati menolaknya. Iya, benar begitu! Ia jadi sungkan setengah mati begini hanya untuk menyampaikan penolakan halus tadi. Dan dulu juga Aimara pernah bilang, membantah orang tua itu bukanlah perbuatan baik. Tuhan bisa marah.
Iya, begitu.
Ghaitsa harus menjadi manusia baik hati.
Karena Mama akan bahagia dan senang kalau Ghaitsa menjadi manusia baik hati, bukan?
Iya, benar begitu.
Ah, ini juga karena hanya Ghaitsa tidak ingin menumpuk dosa yang semakin hari semakin menggunung itu. Ghaitsa pun cuma sekadar sedang berbuat amal dengan menemani Johan. Tindakannya sekarang hanyalah perbuatan baik belaka sebagai sesama manusia dan makhluk Tuhan. Setelah ini dia akan langsung mengembalikan kartu kredit cantik tersebut dan segera berpamitan pulang.
Tolong ingatkan dia!
Ghaitsa serius.
Saat ini mereka berada di mall yang mereka kunjungi bersama kemarin. Johan bilang ada yang ingin dia beli dan Ghaitsa barangkali bisa membantu (ini menurut sudut pandang Ghaitsa seorang saja). Dialog aslinya begini. "Aisa mau pergi sebentar sama Papa nggak? Ada yang mau Papa beli." dan yang bersangkutan langsung mengangguk setuju tanpa pikir panjang tatkala sedang menikmati semangkuk besar es krim dengan berbagai topping manis berserakan di atasnya. (Bagian ini jangan diingatkan kepada gadis itu, bisa-bisa es krim Malang tersebut di jadikan sasaran empuk untuk Ghaitsa tumbalkan).
Sebelum menjelajahi mall untuk kedua kalinya, mereka terlebih dahulu singgah menuju toko pakaian lantaran Ghaitsa sempat berkata. "Boleh pulang tukar baju dulu? Aisa takut diliat temen sekolah terus dikatain pergi main sama om-om. Kadang-kadang daripada nanya, mereka lebih suka ngegosip. Mulutnya juga jahat-jahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...