─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
GHAITSA sudah memutuskan.
Usai pergulatan batin nan panjang semalam suntuk pada belasan hari ke sekian sampai-sampai kepala puan mentari tersebut pening bukan main tatkala terjaga di pagi hari—wajar, dua jam tidur jelas tidak bagus bagi kesehatan kaum manusia. Ghaitsa telah mendapatkan satu keputusan final mengenai keberlangsungan masa depan aman, damai, sentosan dan harus bahagia! Dia tak mau lagi hidup menyedihkan dengan judul "korban" tersemat di dahi kemana pun tungkai melangkah. Perempuan tersebut memilih meraih resolusi hidup baru guna menggapai secercah cahaya gembira bersama orang-orang terkasih. Walau belasan hari harus di korbankan demi mengantongi satu hasil dengan rencana bercabang di hari ini, tak mengapa. Archie bilang, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Demikian sang puan selesai berbenah diri langsung keluar kamar dan menghampiri Alexzander bersaudara di halaman rumah.
Hari ini bertepatan dengan tiga bulan Haidden merantau dan kabar baiknya? Kakaknya itu akan pulang hari ini. Namun bila boleh jujur, tidak sepenuhnya kabar baik juga. Sedang ada wabah penyakit semenjak meledaknya sebuah pabrik kimia di sudut kota hingga membuat kualitas oksigen menurun drastis dengan tingkat keracunan tinggi. Banyak korban yang berjatuhan. Dan demi keamanan serta keselamatan, penduduk di minta untuk beraktivitas dari rumah sahaja sampai surat edar pemerintah selanjutnya keluar. Oleh karena itu sesudah membuktikan diri sehat sentosa untuk mengantongi izin berpergian, Haidden memilih pulang di banding harus menghabiskan waktu sendirian di asrama sebagai seorang mahasiswa perantau. Setidaknya waktu dua minggu akan bermanfaat sekaligus bermakna di habiskan bersama keluarga—Ghaitsa saja maksudnya. Telah menerima kabar lima hari lalu, Alexzander bersaudara sepakat bahwa sore ini mereka akan menjemput Haidden di bandara. Sang puan bangun pagi-pagi buta untuk pergi ke pasar guna memasak berbagai macam lauk-pauk nan kini lebih dari tiga rantang tersusun manis di dalam bagasi.
Archie agak heran tetapi enggan berkomentar lebih usai menyaksikan sang bungsu berkeliaran kesana-kemari bersama sorot kusut di ikuti ekspresi keruh bukan main selama beberapa hari belakangan ini selain, "Kamu mau piknik, kah?"
Terdiam sejenak untuk berpikir, Ghaitsa mengangguk setengah yakin di iringi senyuman tipis. "Bisa jadi? Tergantung keadaan nanti."
Yaziel muncul dari belakang dan menumpu dagunya pada bahu Ghaitsa, ia juga menyempatkan diri mengecup pelipis sang adik sebelum ikut berkomentar. "Kita udah kayak mau halalbihalal aja tau nggak lo. Mana banyak banget lagi masaknya. Itu rantang orang mau kondangan, Aisayaaaang."
"Berisik!" Empu tersebut mendecih sebal sebelum bergegas menutup bagasi kemudian berbalik guna menangkup wajah sang kembar cukup kuat. Obsidian cokelat dalam rongga menyorot lamat-lamat kemudian menyambung lugas, "Pokoknya apapun yang terjadi lo harus nurut sama gue. Ngerti? Lo harus berada di pihak gue nanti. Ngerti?"
Dari relung terdalam, sesungguhnya Yaziel tidak mengerti maksud kalimat adik manisnya ini. Namun mengingat bahwa ia memiliki penyakit hati lemah terhadap permintaan adik kembar bungsunya ini, laki-laki bermanik elang itu manggut-manggut saja dan mencuri satu kecupan kilat di pipi lawan. "Baiklah, Adinda! Kakanda akan menuruti apapun maumu, asal engkau bahagia-ia-iaaa~"
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Genç KurguLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...