─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
“SO, Ghaitsa adalah adek kembar kalian?”
Kebisingan berselimut gaduh ini mengganggu ketenangan yang biasa Jeviar sukai. Sementara cuma pada hari Senin dia mendapati seluruh orang ogah-ogahan mengeluarkan suara terlebih-lebih pada acara upcara wajib yang dilaksanakan, bahkan meski hujan badai sedang melanda bumi sekalipun. Aula besar bisa dijadikan alternatif. Oleh karena itu dia tidak banyak protes terhada pilihan Ghaitsa yang ingin berangkat bersama Archie lantaran masih sungkan akan ribuan tatapan penuh asumsi nan sukses menggondok hati.
Terutama untuk konversasi mereka di kantin, di mana hubungan mereka terkuak nyata.
Gaviar masih membutuhkan beberapa sekon guna mencerna lebih mantap saat berkata, “Jadi sewaktu kami pertama kali maksa mampir ke rumah lo. Lo ngelarang karena Ghaitsa belum pulang dan dia lebih milih seharian nunggu di taman komplek daripada papasan sama kami?”
“Segitunya banget nggak mau orang tau kalian kembaran?” tanya Syauqi kebingungan atas penjelasan singkat, padat dan jelas dari dua kembar. “Bukan meragukan tapi gue baru pertama kali ini ketemu anak kembar yang milih backstreet begini. Udah semacam hubungan gelap aja.”
Jeviar menelengkan kepala, sesekali melirik pada manusia-manusia yang mencuri-curi pandang menuju meja mereka. “Karena Aisa nggak suka jadi pusat perhatian. Dari dulu dia cuma mau hidup tenang dan normal tanpa gangguan-gangguan manapun. Dia cuma mau hidup tenang.”
Sang kembar manggut-manggut setuju. “Aisa, tuh, paling benci diganggu tapi sialnya malah temenan sama cewek-cewek berisik bukan main yang kalau udah disatuin, rasa-rasanya bisa ngehancurin bumi. Gila! Kemarin mereka namu dan nyaris nginep kalau-kalau neneknya Yezira nggak jemput. Bisa nggak tidur gue semaleman kalau-kalau mereka jadi nginep.” dan diam-diam disetujui Jeviar yang merinding mendengar suara Kanaya; benar-benar sudah bertransformasi menjadi bisikan-bisikan serupa hantu di film horor. “Hihi~ halo, Calon Adik Ipar Jeviar.”
Laki-laki bermanik tajam itu mengusap tengkuk cepat dan buru-buru menenggak teh hangatnya. “Beneran sinting, tuh, cewek.”
Narendra kemudian merapat mendekati Yaziel, merangkul sang teman dan nyengir selagi lawan melayangkan satu tatapan heran. “Kita, 'kan, sekarang udah menjadi teman sehidup semati, nih. Kira-kira bisa nggak loㅡ”
“Berani kalian deket-deket lewat 100 meter dari posisi Ghaitsa.” Dalam tiga bulan kenal, perdana Jeviar menunjukkan taring lewat seringaian sedingin laut mati itu. “Jangan pernah mimpi buat lihat matahari besoknya. Paham?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
أدب المراهقينLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...