BAB 34 : Tangan Menyambut Lara

1.6K 348 12
                                    

─── ・ 。゚☆:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───


MUNGKIN semesta mengakui bila sorot itu telah bermanifestasi menjadi bidikan panah es dari lautan api yang melolong serupa jeritan kemalangan. Bagaimana tungkai diseret paksa mengikis jarak, relung hati melantangkan protes lewat genggaman resah yang semakin kuat mencengkeram rangkai bunga mawar biru. Pun, gemerisik dedaunan berhasil menjadi teman saat kepala terfokus melepaskan diri dari jeratan tanaman rambat yang memenjarakan diri tanpa berniat melepas meski tangisan duka sudah terlepas pilu.

Bertahun-tahun lamanya, namun Ghaitsa tetap berada di tempat. Belum bergerak. Belum merangkak. Belum berjalan bahkan berlari meninggalkan kelam nan suram tersebut.

Mengingat potongan adegan pagi ini, kalau Archie serius ingin mewujudkan maklumat dalam konversasi mereka, membuat sang puan berbelok arah dari Atraxia menuju jalanan sepi manusia, sementara matahari sudah terbit menantang. 10:58 WIB tatkala ia melirik arlojiㅡwaktunya terbuang banyak pada perjalanan tidak tentu arah sebelum terpikir akan satu tempat. Ia menarik napas berat, mengulas senyum sedemikian manis kemudian memantapkan diri dalam setiap langkah menaiki anak tangga guna menemukan dirinya terpaku serta melunturkan ceria saat bersitatap dengan manik kecokelatan mirip biji ek.

Saksama iris memandang lurus melewati ketertegunan sebelum berkedip guna menyorot dengan manik mengkilat merah di bawah mentari terik. Ghaitsa butuh beberapa jam memantapkan diri untuk mampir akan tetapi bisa-bisanya orang itu datang tanpa rasa malu sedikitpun. Perempuan tersebut meradang. Urat-urat leher berhasil mencuat ke permukaan kulit sehingga dia abai pada etika pertemuan demi membuang bucket bunga dari rumah terakhir Aimara.

Ghaitsa rasa ia bisa saja meledak kapan saja sewaktu berujar penuh penekanan sembari berusaha keras menahan amarah. “Tolong jangan pernah menginjakkan kaki Anda di sini,” lalu mendongak diselimut amarah. “seperti dulu yang bahkan tidak muncul saat pemakaman istrinya sendiri.”

Johan terpaku, dia menelan liur susah payah sebelum membungkuk memungut serangkaian cantik dari Hyacinth dan menarik sudut getir. “Maaf, seharusnya begitu tetapi hari ini Papa cuma teringat mamamu, Aisa.”

Papa.

Betapa lucunya orang itu memanggil dirinya sendiri dengan sebutan "papa" yang tidak sepantasnya tersemat pada bibir lawan. Oleh karena itu Ghaitsa tertawa sinis dan menggeleng tidak habis pikir. “Nggak usah repot-repot. Toh, kehadiran Anda nggak dibutuhkan siapapun. Pergi, tolong. Selagi kewarasan saya masih ada untuk nggak ngambil ranting itu buat nusuk leher.”

“Aisa.” Johan memanggil putus asa bahkan saat bermaksud memperingati sang bungsu Alexzander.

“Terlambat!” hardik Ghaitsa. Rongga mata berkaca-kaca menahan duka sekaligus kebencian teramat tatkala harus dihadapkan pada luka. Napas sang gadis putus-putus selagi mendoktrin diri bahwa tidak akan ada lagi hujan badai untuknya. Bahwa semua akan baik-baik saja jika dia berpikir demikian, seterusnya juga begitu. Ia menyambung nanar, “Bunga dan penyesalan Anda sama sekali nggak punya arti. Percuma. Sia-sia. Perhatian yang sedang Anda salurkan nggak akan pernah berbalas. Anda berkali-kali melewatkan momentum sehingga sikap Anda sekarang justru membuat muak. Anda sendiri yang berbalik pergi, jadiㅡ!”

Story Of Ghaitsa | Zoo UnitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang