BAB 31 : Hujan dan Petir

1.7K 355 23
                                    

─── ・ 。゚☆:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───


PENGHUJUNG hari selalu dihiasi pekat senja nan terhampar begitu menawan, menggantung pada cakrawala yang tidak keberatan diwarnai sedemikian rupa oranye agar penduduk bumi sadar, bahwa hari akan segera usai. Kendati demikian, walau ratusan jingga menarik kelam untuk datang bersama rembulan pun, penderitaan mereka takkan pernah usai. Padahal orang-orang dulu bilang senja ada sebagai pengganti obat tanpa pil yang ampuh mengenyahkan risau agar mampu menggenggam tenang. Bagi mereka yang sedang membutuhkan tempat "pulang" melalui dekapan hangat mentari yang pamit undur diri. Akan tetapi, sekeras-kerasnya gadis mungil tersebut berusaha mencari-cari tentram yang orang-orang pembual itu agung-agungkan, yang berhasil Ghaitsa jumpai ialah detakan jantung kencang sebab cemas.


Dia tidak suka hari usai semudah itu. Dia enggan waktu selesai secepat itu. Dia benci bagaimana kelam perlahan merangkak naik dan hanya meminta bulan bekerja keras guna menerangkan bumi lewat cahaya remang tak membantu tersebut.

Ghaita justru membenci senja, teramat sangat.

Membenci bagaimana matahari memohon pada rembulan agar tetap memberikan secercah harapan lewat sinar remang tatkala dia turun dari singgasana. Memintanya agar memastikan alam semesta tetap pada poros, tetap sebagaimana mestinya alam tersebut ada sebagai ladang bagi manusia berpetualang. Dia benar-benar menaruh dendam tertinggi sebab … sebab dikarenakan demi jingga yang Ghaitsa beri pujian setinggi langit melalui keelokan panorama. Ghaitsa membuat satu kesalahan fatal dalam hidupnya dengan melanggar perintah Aimara agar pulang tepat waktu lantaran obsidian cokelatnya tergoda oleh sisa-sisa hari sewarna mentari.

Tungkainya yang semula berlari semangat untuk pulang dan menceritakan bagaimana ia menjumpai matahari turun sampai detik-detik terakhir pekerjaannya pada Aimara pelan-pelan melambat. Ia justru termangu dan berjengit alih-alih mengambil derap maju memasuki rumah. Sang puan mungil malah diam membisu mendengarkan teriakan demi teriakan bersatu padu dengan jatuhnya barang-barang. Lengkingan suara di dalam sana semakin meninggikan intonasi hingga Ghaitsa cuma bisa mencengkeram ujung seragam kala mendapati siluet seseorang tertampar.


Belasan detik tak mampu bergerak, anak manis tersebut melebar iris bergetarnya ketika bersitatap dengan Johan yang baru saja membuka pintu. Aroma alkohol menguar pekat dari tubuh sang ayah yang kini sedang memandang berang menuju si bungsu. Tanpa kalimat sambutan seperti biasanya, Johan menggeret kasar Ghaitsa mungil guna dilempar kasar di sebelah Haidden yang bagian wajah sudah berlumuran darah.

Dia semakin gemetar hebat kala menyentuh sang kakak. “A-abang?”

Sebelum berhasil menggenggam tangan sang kakak, Aimara terlebih dahulu menyembunyikan Ghaitsa di balik punggung sembari menatap nyalang sang suami. “MAS! AISA MASIH KECIL, JANGAN GILA KAMU!” seru Aimara. “DIA PEREMPUAN, JOHAN!”

Story Of Ghaitsa | Zoo UnitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang