─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
TERAS minimarket, sekantung cemilan ringan dan beberapa kaleng soda. Perpaduan terbaik kala isi benak mulai saling beradu satu sama lain. Mencari tentram lewat walau kepalanya pening bukan kepalang. Hiruk-pikuk dunia di depan mata sana agaknya sangat membantu Yaziel, deru kendaraan dan dengungan dari para manusia kapabel dalam mengurai fokus agar setidaknya, di tempat publik ini, ia bisa mencari celah supaya dapat berpikir jernih sebelum pulang nanti. Yaziel tidak ingin berdebat lebih panjang dengan sang adik kembar, Ghaitsa terkasihnya. Apa pun, sungguh apa pun itu akan Yaziel lakukan untuk bungsu tercintanya menjalani hidup dengan bahagia. Yaziel siap menjual jiwanya pada iblis hanya untuk memberikan kebahagiaan absolut pada Ghaitsa.
Sebesar itu rasa sayangnya.
Mana mungkin ia tega hati menolak semua keinginan Ghaitsa.
Akan tetapi, mau di wajarkan bagaimana pun juga, Yaziel masih belum bisa menerima situasi asing tersebut dalam roda kehidupan keluarga mereka. Yaziel betul-betul cukup dengan mereka berlima beradik-kakak hidup sebagai keluarga kecil. Tanpa Johan. Tanpa siapa saja yang berniat masuk. Yaziel telah terbiasa dengan kondisi tersebut.Namun lagi, apalah arti kedamaian dan kenyamanannya jikalau Ghaitsa tidak bergembira riang?
Jika sang bungsu ingin Johan ada, Yaziel akan berlapang dada. Meningkat batas toleransi sampai titik maksimum dan berusaha sebisa mungkin untuk bermurah hati pada lelucon takdir. Semua dia lakukan guna melihat senyum indah Ghaitsa yang terbit seolah tiada mengenal kata tenggelam. Akan tetapi, melihat Ghaitsa sekarang jauh lebih akrab dengan Johan dan senang menghabiskan waktu dengan orang itu membuat jantungnya terbakar. Yaziel total tidak suka. Ia benci. Sangat-sangat benci.
Apa baiknya orang yang pernah memberi luka besar pada mereka itu?
Memangnya harus ada orang itu baru mereka bisa bahagia dan senang? Tidak, bukan? Toh, selama ini saja mereka sudah hidup mandiri tanpa orang itu.
Ah, makin di pikirkan, makin terasa sakit kepalanya. Yaziel mendesah berat, ia berusaha mengambil oksigen sebanyak yang ia mampu guna mengisi rongga dada nan sedari tadi berdetak penuh kejengkelan. Ia telak menenggak tiga kaleng soda. Menelan beberapa sosis berukuran jumbo. Mengunyah potongan demi potongan brownis kemasan, berharap semak belukar di kepala akan segera menghilang, bertukar dengan pohon rindang hingga Yaziel dapat berpikir jernih, lurus dan runtut demi mengais satu jalan mudah untuknya mengerti dengan kondisi baru pada poros kehidupan keluarga mereka.
Tatkala ingin mengeluarkan ponsel guna berselancar di sosial media dengan niat hati mencari fokus baru. Yaziel mendongakkan kepala saat satu kantong martabak mendarat manis di depan mata. Senyuman bagai rembulan tersebut terbit begitu manis, suaranya yang lembut pun mengudara tidak lama kemudian. "Martabak, buat Iel. Ayo makan sekarang. Masih anget-angetnya, lho."
"Pulang lo. Gue mau sendiri dulu!" usirnya ketus.
Walaupun sesungguhnya tidak enak hati berkata sedemikian sinis begitu, Yaziel tetap melakukannya. Dia benar-benar butuh sedikit ruang untuk menetralkan perasaan gondoknya ini. Di sana, alih-alih mendengarkan dan menuruti perkataan lawan, Ghaitsa memilih untuk menarik kursi dan duduk sedekat mungkin dengan sang kembaran. "Iel, Aisa sayaaang banget sama Iel."
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
TienerfictieLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...