─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
LAUT merah muda tumpah ruah membasahi seluruh permukaan bumi. Mewarnai hambar oleh kemanisan tiada tara sukar bisa dijelaskan lewat rangkaian kata. Sehingga, menjauhi pikiran penuh duga-duga, tanah gersang mulai ditumbuhi bunga-bunga cantik nan jelita menyegarkan obsidian. Angkasa juga enggan kalah, ia terang-terangan menghantaarkan afeksi serupa kembang gula yang berjejer rapi pada sebuah festival. Benar-benar tidak ada kalimat yang tepat untuk menggambarkan bagaimana perasaan Ghaitsa sekarang. Bagaimana dia merasa sangat dibutuhkan berada di Atraxia, meski hanya dalam lingkaran minimalis versinya.Senyuman itu sungkan luntur. Iris pun juga terus-menerus menyipit gemas. Dua pipi chubbynya juga membulat lucu kian kemari lebar tawa yang dia lepas. Telapak tangan puan tersebut lancang memukul meja sebagai bentuk respon atas lelucon Kanaya yang memang tidak pernah gagal.
Ghaitsa tidak mampu menahan diri lagi untuk bersikap kalem dan membiarkan Joanna menjadi tumpuan selagi mengabaikan puluhan atensi. Kanaya berdiri, menaikkan satu kakinya ke atas kursi kantin bersama ekspresi serius. “Dan akan aku arungi laut dengan kapalㅡterus Abang gue abis itu malah ngeliat gue dengan ekspresi planga-plongo. Gue tanya dong, scene bagian mana yang lupa? Dan gobloknya dijawab, bagian ketika mataku memandangmu, najis~ Kan, bajingan gitu, lho. Maksudnya apa coba?!”
Tentu, gadis mungil itu senang sekali membahas perilaku-perilaku lucu dan absurd kakaknya.
“Abang lo sudah bertindak dengan benar.” Joanna membalas, tersenyum menghina kemudian. “Muka-muka lo kalau lagi serius kayak nahan boker. Najis.”
Satu sekon berikutnya tawa sukses menghilang dari meja itu tatkala terdengar suara angin yang mana diikuti dengan aroma busuk menyengat. Ghaitsa mengerjap. Joanna menjepit hidung. Yezira geleng-geleng kepala selagi Kanaya melepas cengiran lebar. “Tau aja lo gue kebelet boker dari tadi.” lalu mundur teratur dari kursi. “Gue pergi ke toilet bentar!” dan kabur begitu saja sebab tahu Joanna benar-benar akan mencekik lehernya tanpa aba-aba berarti.
Merasa paling mengerti, Ghaitsa mengusap-usap pundak Joanna yang menahan napas dari tadi. “Sabar, Jo.”
“Harusnya gue sumpel pantat busuknya itu!” omel Joanna sebal. “Kurang ajar. Mana bau ikan asin basi lagi, sial.” Ia menambahkan sambil mengibas-ngibaskan tangan di hadapan muka.
Usai menenggak minuman segar dari vending machine, Yezira berucap. “Semakin percaya, nyaman dan dekat Kanaya sama orang maka semakin kurang ajar sikapnya. Untung karena dia itu lucu dan gemesin, orang-orang jarang marah.”
“Lucu-lucu minta gue sepak palanya, sih, iya.” Joanna geleng-geleng tidak habis pikir dan kemudian fokus teralihkan pada dering ponsel yang kapabel memancing amarah sesudah membaca sedert nama di layar. Tuan Muda Iblis. Gadis tersebut serta-merta membuang tatapan pada sesosok jangkung di meja tak jauh dari posisi sedang menggoyangkan ponsel bersama seraut wajah menjengkelkan. “Ck, sialan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Novela JuvenilLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...