─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
HANCUR dengan sempurna. Harapan demi harapan yang telah dirajut sampai-sampai waras berani dipertaruhkan guna mengais-ngais hasil serupa fatamorgana pada setengah lingkaran pelangi agar bertahan di kemudian hari sekarang sudah remuk redam oleh keputus-asaan. Luluh-lantak dalam sekali hentak. Tangannya tidak lagi dapat keluar dari bayang-bayang hitam penuh sesak teramat nan membuat jantung kesulitan menerima oksigen. Berujung ada ketidaksanggupan badan untuk melarikan diri dari gamang terpahit hanya untuk terjebak dalam tempurung, selama-lamanya.
Uraian biru perlahan-lahan turun, telapak tangan itu tergenggam gemetar. Ia sudah selesai. Ia meraih gagal atas semua perjuangan antara hidup dan mati mewujudkan kehidupan normal miliknya.
Ghaitsa gagal memenuhi permintaan terakhir Aimara sebelum dunia merenggut yang terkasih dari dekapan.
Senyuman bak lelehan coklat itupun membayang-bayangi benak, mendongkrak paksa ketenangan nan dipaksa tenang mati-matian oleh sang puan. Semakin detik terlewat ia makin jelas mendapati diri melihat Aimara sedang memandang penuh gemas pada Ghaitsa versi SMP. Meski luka memar nyaris memenuhi seluruh lengan walau sudah ditutupi oleh cardigan super panjang sekalipun, Aimara tetap tidak pernah absen dalam mendekapnya setiap bangun tidur setelah menghantarkan Johan pergi bekerja.
“Mama?”
“Hm?” Aimara menoleh sewaktu mengaduk adonan kue. “Bentar, ya, Sayang. Supnya dikit lagi mateng, kok. Udah lapar banget, ya, Anaknya Mama?”
Ghaitsa berharap waktu terputar lagi agar bisa menggapai Aimara tanpa keterlambatan adegan manapun. Waktu itu dia menjawab lambat, “Nggak, kok. Mama santai aja. Aisa masih bisa nunggu sambil ngeliat Mama masak.” dan memainkan rambut panjangnya yang dikepang. Obsidian itu bergerak mengikuti seluruh pergerakan sang ibu bersama perasaan kalut guna berakhir membuka suara. “Mama?”
“Iya, Nak?”
“Mama bisa nggak gugat cerai Papa?”
Pertanyaan tersebut kapabel membuat Aimara berhenti mengaduk sup ayam dalam panci dan memutar agar bersitatap dengan putri bungsu bersama sarat keterkejutan bukan main. Namun seolah-olah tidak menyadari situasi yang sedang terjadi, Ghaitsa melanjutkan. “Aisa nggak papa kalau jadi anak broken home yang orang tuanya pisah. Asal kita semua baik-baik aja, bahagia bareng-bareng … tanpa Papa. Aisa bener-bener bakalan baik-baik aja tanpa papa meski kita nantinya kekurangan uang. Seenggaknya lebih baik begitu daripada ngeliat Mama mati-matian nutupin perbuatan papa dari dunia. Aisa … nggak tahan lagi.”
“Sayangㅡ”
“Kemarin Archie dikurung papa seharian di kamar karena nilainya turun. Jeviar juga begitu, dia selalu panik berlebihan setiap pembagian ulangan harian. Ziel juga, dia suka basket tapi selalu cemas berlebihan sebelum pertandingan mulai. Dia takut kalah. Dan nggak tanggung-tanggung, papa mukul punggung Aiden karena gagal di kontes essay fisika.” Ghaitsa meremat ujung kemeja sekolahnya, menunduk sekilas dan tersenyum pahit bersama iris nan perlahan memanas. “Mereka selalu dibabat habis-habisan karena anak laki-laki di keluarga ini harus cemerlang seperti papa. Harus membanggakan seperti papa. Padahal … Mama, padahal mereka nggak pernah minta dilahirin kalau pada akhirnya cuma sebagai pajangan yang bernilai tinggi supaya bisa dibangga-banggain di luar sana.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Ficção AdolescenteLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...