─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
LEMBAYUNG jingga mewarnai angkasa, gemerisik daun hadir sebagai teman bersama harmoni indah kicauan koloni burung berterbangan menuju sarang mereka demi menghindari pemangsa. Barangkali deru napas teratur milik tiga anak kembar manusia yang termenung, sibuk dengan isi kepala masing-masing semenjak menginjakkan kaki pada lapangan kosong komplek perumahan juga ikut andil meramaikan. Seakan-akan mereka menikmati proses turunnya sang mentari dari atas singgasana merupakan tujuan utama mereka berkumpul.
Kendati demikian tidak ada satupun yang berinisiatif untuk membuka suara, Yaziel tetap memainkan peran sebagai saudara dengan baik, melepas jaket dan menyampirkannya pada bahu sempit sang bungsu Alexzander lantaran udara semakin dingin diiringi hembusan kencang angin nan menusuk kulit. Pemuda tersebut jelas-jelas enggan bilamana Ghaitsa sampai terserang flu apalagi demam jika ketiganya terus mengabaikan satu sama lain. Pun sang lawan tidak memberikan tanggapan berarti selain menatap Yaziel yang berlalu bersama sekelumit rumit sementara ia diam-diam menghela napas pendek; tanda lelah secara psikis.
Di sisi lain, Jeviar terus menengadahkan kepala, mengedarkan pandangan menyorot objek apapun yang tertangkap oleh iris tajam itu, mungkin tengah menyibukkan diri dengan agenda studi lapangan dadakannya sore ini. Di lihat dari posisi duduknya yang jauh dari dua adik kembar, laki-laki ini terang-terangan sekali menghindari topik pembicaraan yang akan Ghaitsa bawa. Jika saja Kanaya tidak mendadak muncul dengan sebotol kecil kecoa—yang entah perempuan itu dapatkan darimana—bisa jadi sekarang mereka bertiga mendekam di kamar masing-masing, alih-alih berhenti di lapangan kosong ini.
Dalam benak, Jeviar cukup mantap memutuskan satu hal setelah berdiam lama bagai pajangan tak bernyawa di lapangan ini, yaitu pulang dan memikirkan langkah baik apa yang akan di ambil selanjutnya dalam keadaan perut terisi kenyang, tentu saja. Namun belum sempat bibir menyuarakan isi kepala, tahu-tahu Ghaitsa mendahului dengan cepat. Kepala anak bungsu tersebut menunduk dalam dan suaranya tersalur begitu bergetar; ragu-ragu berselimut takut. "Maaf, Aisa egois banget nggak mikirin perasaan kalian. Maaf banget. Aisa salah. Aisa nggak bermaksud buat maksa kalian inget-inget lagi kejadian mengerikan itu. Aisa enggak bermaksud sejahat itu. Aisa cuma mikir dengan berdamai sama masa lalu bakalan jauh lebih baik buat kita. Kita bisa bebas sepenuhnya dari masa lalu yang ngiket kita. Buat jadi lebih bahagia dan sehat dari hari-hari kemarin yang kita usahain. Maaf, justru Aisa bikin kalian sakit lagi tanpa mikir panjang. Tanpa mikirin konsekuensi dan dampaknya bagi kalian. Maaf."
Nyanyian burung-burung terdengar lagi, bagaikan sudah tersistem untuk hadir sebagai pelengkap pertemuan kecil tiga bersaudara di bawah kungkungan keelokan langit oranye. Meski diikuti helaan berat dua pemuda selesai menyimak rentetan panjang pengakuan hati si bungsi, mereka terenyuh di tempat sampai-sampai bingung harus menanggapi apa agar kesayangan mereka tidak terluka lebih jauh lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Fiksi RemajaLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...