─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
KETIKA bumi sedang melepas hangat guna menggantinya dengan sunyi bertepatan kala bulan perlahan-lahan naik meninggalkan matahari di belakang bersama perasaan paling mengganjal yang pernah ada. Gemerisik dedaunan pun menjadi teman sewaktu-waktu dia tenggelam dalam lamunan. Seolah berusaha mengulur detik lewat lambatnya derap kaki dan keengganan yang bersarang pada relung hati. Ia tahu, usai mengambil belasan langkah lebih lebar dia akan mencapai rumah, akan tetapi mengetahui dia bukannya betul-betul pulang.
Aubrey mulai meragu.
Sebab makna rumah dan pulang tidak pernah sama, baginya.
Dia selalu merasa sesak untuk rumah dan lapang dada bagi pulang.
Perempuan pemilik suara merdu tersebut memang berakhir mengambil ekstrakurikuler paduan suara alih-alih menari seperti Ghaitsaㅡakibat ceramah menjengkelkan Yezira yang mengusik ketenangan. Namun bukan berarti dia akan berhenti untuk menggapai Ghaitsanya. Tidak, tidak akan pernah. Karena dialah yang paling mengerti dan tahu semua hal mengenai Ghaitsa. Deru napas sang puan meluruh berat, bahunya terasa dihinggapi ratusan beton hingga jarang sekali terangkat begitu ringan. Sebegitu ringan selayaknya Ghaitsa yang tanpa sadar telah menjatuhkan beton demi beton yang bertumpu pada sepasang pundak ringkih itu.
Aubrey tahu dia enggan pulang namun ia mau tak mau harus berada di rumah sebelum ibunya memborbardir ponsel dengan ratusan panggilan tidak terjawab. Lalu, mengambil satu napas sang puan lantas membuka pintu rumah, melepas sepatu dan segera melengos melewati ibunya yang sibuk menata piring makan malam.
“Aubrey? Bagus kamu udah pulang, bantuin Mama nata piring. Papa kamu sebentar lagi bakalan pulang.”
Aubrey memekakkan telinga meski tungkai berhenti, raut wajah masamnya pun terlihat begitu kentara tatkala mereka bersitatap. “Aubrey, tunggu apalagi? Sini bantuin, papa kamuㅡ”
“Aku udah bilang dia bukan papaku!” teriak Aubrey frustasi. Tas punggung resmi dibanting kasar, lengkingan teriak teramat gusar mengudara memenuhi seisi rumah sehingga yang tersisa ialah napas tersengal-sengal. Sang puan menyorot marah ibunya. “Dia. Bukan. Papa Aubrey. Bukan! Aubrey najis ngakuin dia sebagai papaㅡ”
Iris sang gadis melebar, bergetar berkaca-kaca bersama rasa kaget kental berbalut kemarahan. Artha baru saja menamparnya hanya karena laki-laki tua itu. Aubrey menoleh menatap Artha dengan kilatan kebencian sementara sang ibu menyorot berang. “Nggak sopan kamu berbicara seperti itu ke orang tua. Mama nggak pernah ngajarin kamu begitu, Aubrey!”
Tawa sumbang si manis lolos begitu mudahnya karena mendengar penggalan kalimat bualan tersebut. Aubrey menanggalkan dasi seragamnya, begitu juga kancing kemeja lalu tersenyum miring. “Jelas! Yang Mama ajarin ke aku itu bagaimana caranya ngegatel ke suami orang, manipulatif ke keluarga orang, nipu sahabatnya, nyakitin anak-anak sahabatnya dengan ngehasut papa mereka dan ngerebut suami orang pake badannya. Ya, 'kan?! Makanya Mama juga jadiin badan aku sebagai karya seni buat dipertunjukkan ke orang-orang. ITU YANG MAMA AJARIN KE AUBREY!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Novela JuvenilLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...