Lembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya.
Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
FILMthriller dan gore bercampur aura mistis menjadi pilihan sewaktu masing-masing personal memeluk mangkuk berisi mie goreng lengkap dengan berbagai toppingㅡyang mana sebagai koki khusus mie keluarga Alexzander, maka diperbudaklah Yaziel lewat bisikan mendayu dari Kanaya yang memasang ekspresi serius bukan main, “Selain cowok ganteng dan rajin ibadah. Zira juga suka cowok penolong, lemah-lembut dan masakㅡbeuh! Yang satu ini kualifikasi penting dari yang terpenting. Red flags, Brader!” dan penyihir tampan itu tersihir oleh rona merah muda pada dua pipi chubby nan mengerjap malu-malu sehingga ia tunduk seketika tanpa perlawanan berarti.
Maka dapat dinikmati semangkuk mie hangat beraroma menggoda penciuman dan kapabel membuat lidah berteriak frustrasi tiada suara agar segera mencicipinya.
Sementara itu, di belakang barisan empat gadis di dalam ruang tamu. Jeviar menautkan alis. “Boleh juga selera filmnya.”dan menggeleng sebelum berlalu pergi menuju Yaziel yang bersuara. “Apa enggak sebaiknya kita sita semua film thriller, horor dan gore punya Aisa? Mereka semakin meresahkan, Mbar.”
“Berisik.”
“Kembaran songong!”
Pun, ada tipe-tipe penonton film thriller hari ini di kediaman Alexzander pada posisi masing-masing. Si penantang berujung berujung bersembunyi dibalik mangkuk, Joanna. Si penakut nan semakin gamang bukan kepalang lantaran detak kencang latar musik, Yezira. Si tertantang justru semakin serius menikmati setiap adegan penyiksaan sekaligus ganas yang disajikan begitu apik dalam layar kaca. Terakhir, pecinta gore semacam Ghaitsa merasa biasa-biasa saja, bahkan ia masih sempat mengomentari bila pengambilan kameranya kurang berkesan.
“SUMPAH! ITU GUNTING RUMPUT, 'KAN, NJING?!”
“Ssst, diem! Gue nggak denger dia bilang apaㅡhah?! Sial! Lo diem, sat! Teriak mulu kek peserta demonstrasi.”
“Kita apa enggak bisa nonton film normal gitu? Romansa? Slice of life? Misteri? Detektif atau komedi? Apapun, deh, selain ini.”
“Romansa membosankan. Ceritanya terlampau klise. Ketemu tokoh utama pria dengan adegan super-duper-mega-combo "sederhana" lewat peristiwa tidak sengaja katanya. Terus abis itu seolah-olah direstui alam semesta, mereka ketemu mulu, entah afeksinya manis atau sebaliknya. Ujung-ujungnya mereka jadian juga. Emoh, ah!”
Kanaya memberikan kepalan tangan atas pendapat berbobot Ghaitsa, takjub juga diam-diam akan pemikiran sang gadis. “Sepakat berpangkat-pangkat tidak terhingga,” katanya. Air muka jengah pun tercetak. “Ew! Terlalu menjijikan saat ada dialog, "sebenarnya gue udah tertarik sama lo dari awal, cuma denial aja." dan lo mau gue gimana, anjeng?! Kayang buat mengapresiasi keberanian kacang rebus lo itu? Nggak dulu. Bukan lo orangnya.”