─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
KEDUSTAAN terbesar selama berabad-abad berupa jikalau rahasia dapat tersembunyi selama mulut terisolasi ketat. Realita berbincang-bincang fakta bersama alur takdir, mungkin telah sepakat diam-diam akan hal tersebut. Teruntuk teori konspirasi bumipun bisa dikulik sedemikian rupa oleh para ilmuwan nan haus kebenaran sehingga menyedikan puluhan tahun meneliti agar dapat membongkar inti bumantara sampai ke akar-akar, tanpa kenal lelah sedikitpun. Oleh sebab itu, rasa-rasanya terlalu janggal melihat manusia yang diciptakan menarik rupa, tindak-tanduk serta keunikan karakter.Mustahil bila dikatakan sebuah rahasia dapat bertahan selama-lamanya hingga maut meminang. Mustahil jiwa sanggup menanggung beban tak kasat mata dalam sepasang pundak rapuh walau dibingkai begitu tegar dengan pembawaan misterius minta ampun sukar dijamah sembarangan hanya karena sebatas ingin semata.
Ciri khas yang melekat sempurna pada sesosok tinggi yang sedang diamati begitu lamat. Menganalisis habis-habisan dan berakhir titik pusat mata menuju buku teori konspirasi bumi abad ini dalam dekapan telapak tangan objek. Sangat fokus membaca setiap deretan kata sampai-sampai mengabaikan eksistensi baru pada area radar. Tahu-tahu dia dikejutkan sewaktu yang lebih pendek meletakkan tiga buku di atas rak dan mengetuk sampul buku guna bersuara sangat lugas berselimut santai. Seakan tengah mengibarkan bendera peperangan secara nyata. “Sadar atau enggak, lo lagi ngebaca buku yang merupakan cerminan diri lo sendiri, eh?”
Nada suara perempuan itu kentara mengejekㅡmengajak berdebat intens hanya semata-mata bosan. Jeviar mendesah berat dan memandang jengah lawan. “Lo berniat ngajak gue debat meskipun tau kalau semua-muanya bakalan sia-sia, Aubrey?”
Tangan kontan terlipat di depan dada tatkala mengirim seulas senyuman sukar dipahami. Aubrey justru mengedikkan bahu; ingin bermain defensif saat ini. “Bukannya lo sendiri jauh lebih tau jawabannya, Jeviar?” lalu meloloskan kekehan kecil menghina. “Setelah bertahun-tahun lo masih bergerak di tempat. Ogah keluar dari zona nyaman.”
Urat-urat leher menonjol sarkas seiring buku-buku tangan memutih lantaran kuat cengkeraman pada buku. Obsidian elang sang jangkung secara nyata menyorot antipati terhadap gadis dalam tawanan. Mengambil satu langkah maju guna menyudutkan sewaktu kepala bergerak merunduk untuk mengirim satu aura kuat mengintimidasi. Agar gadis pendek itu tahu bahwasannya Jeviar sedang enggan bermain-main, kini. Lantaran dia tahu kalau puan ini sengaja mengecoh tentram nan membelenggu jiwa. “Mungkin efek turunan sampai-sampai orang dungu seperti lo mirip bahkan persis sama dengan nyokap lo itu. Nggak mampu bertindak cerdas sesuai kondisi. Let me teach you, then.” Jemari telunjuk resmi menusuk kasar bahu Aubrey. “Jangankan dunia, apapun yang gue lakukan sama sekali nggak ada kolerasi sama kehidupan busuk lo itu. Sebagaimanaㅡ”“Sebagaimana mestinya manusia, Jeviar?” potong Aubrey, tertawa geli mengolok kala ia mendesis. “Hei, jangan terlalu serius. Be rilex, Man.” Usai mengangkat dagu sekilas, sang puan cepat-cepat menyambung. “Lagian manusia darimananya? Bermoral maksud lo, Tuan Sok Cerdas? Upsie, bagian mananya?” dan tentu saja berhasil memprovokasi laki-laki itu, sehingga semakin gencar dia meneruskan, “Lo nggak normal. Jangan berusaha mengelak kalau fakta berbicara bahwa lo itu busuk. Dunia mungkin belum tau, tapi semesta nggak buta atas seberapa menjijikannya elo, Jeviar.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...