BAB 32 : Perdebatan Hebat

1.6K 346 24
                                    

─── ・ 。゚☆:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───


ORANG-ORANG bilang jikalau hidup dapat diumpamakan sebagai perlombaan lari. Sejauh mana tungkai berhasil mengikis jarak maka saat itulah dia mulai beranjak meninggalkan lampau guna meraih teguk demi teguk tirta yang mana ampuh mengenyahkan dahaga selama perjuangan melawan waktu. Namun, betulkah demikian? Atau, pada dasarnya masing-masing manusia mempunyai "perlombaan" mereka sendiri yang nantinya akan disebut keunikan individual? Tetapi, dari sekian ratus runtutan pasti kisah-kisah mengharukan, mengapa cuma Ghaitsa yang belum mendapatkan seteguk tirta damai guna mengusir kabut dalam hidup?

Ghaitsa kira, dia telah mencoba jauh lebih keras ketimbang orang lain. Jauh bekerja keras daripada mereka. Namun, mengapa hanya kakinya yang masih terjebak jeratan tumbuhan rambat berupa benalu?

“Padahal gue udah kerja ratusan kali lipat lebih keras,” jari-jemari kurus nan pucat tersebut mengusap uap pada cermin kamar mandi dan menatap kosong pada pantulan diri yang menyedihkan. Pucat tidak berseri, sorot teramat gelap yang barangkali mampu mengalahkan pekat ketika malam sekaligus sewarna laut mati menghiasi bibir; menandakan sudah berapa lama tubuh tenggelam dalam genangan es di pukul dini hari begini. “tapi kenapa rasanya gue ketinggalan banyak, ya? Gue kurang usaha gimana lagi?”

Ghaitsa mengingat benar bila lagi dan lagiㅡsemakin memuakkanㅡmenjumpai diri didekap sebegitu hangat serta kehati-hatian oleh Yaziel. Seolah lewat usapan tangan besar yang telah terhenti mengusap saat kesadaran direnggut alam bawah sadar mengisyaratkan seberapa besar cemas nan kalut yang pemuda itu rasakan kemarin.

Helaan napas terbuang berat, sang puan tertunduk sesaat sebelum menyegerakan diri bersiap-siap pergi sekolah. 06:15 WIB dan Ghaitsa memberikan waktu bagi sang kembar terlelap nyaman lebih lama selagi ia memilih turun sembari mengikat rambut cokelat sepunggungnya. Beberapa sekon kemudian dia berkedip mendapati Archie sedang membongkar sebuah kotakㅡterlihat seperti paketㅡdan mengeluarkan sebuah panci.

“Eh, Abang beli panci?”

Bungsu tersayang berderap mendekat dan disambut anggukan beserta senyuman Archie kemudian. Laki-laki tertua Alexzander tersebut mengetuk panci putih nan tampak manis tertata di atas counter dapur. “Panci kamu dirusakin Jevi, 'kan? Abang beliin yang baru buat kamu, dijaga baik-baik, ya. Mahal, lho, ini.”

“Siap gerak, laksanakan!” Ghaitsa langsung memasang pose hormat dan dengan kecepatan kilat mengecek setiap inci panci menawan yang mengkilat di bawah cahaya lampu ruangan. Lengkungan senang terpatri lembut dalam bingkai wajah menggemaskan sang puan, sekarang. “Sepaket sama spatulanya, Bang? Teflon juga?”

Archie mengangguk sambil memindahkan sampah-sampah sisa pembongkaran paket, menumpu tangan pada tepian meja selanjutnya. “Sekalian beli supaya ada cadangan di rumah,” paparnya kemudian menjawil jahil hidung sang bungsu. “Tapi pake yang lama dulu, ya?”

Story Of Ghaitsa | Zoo UnitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang