─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
BUS berhenti tepat di depan sebuah halte. Setelah bergiliran keluar dengan beberapa penumpang lainnya, tungkai gadis tersebut lantas bergerak menyusuri trotoar sembari memastikan bahwa ia tidak meleset jauh dari alamat yang sedang di tuju. Ghaitsa memperbaiki letak tali tas punggungnya, irisnya celingak-celinguk memperhatikan lingkungan sekitar nan luar biasa sekali rapinya. Tidak ada lautan manusia yang berdesak-desakan di bawah sinar sengit matahari. Tidak ada sampah sedikit pun sepanjang kaki melangkah. Tidak ada truk-truk makanan berjejer dan memanggil-manggil pelanggan lewat megafon. Hanya ada bangunan-bangunan tinggi menjulang dan terlihat mewah. Rasa-rasanya seperti berada di dunia lain. Ghaitsa baru pertama kali menginjakkan kakinya di sini, tetapi siapa saja akan tahu dalam sekali lihat bahwa area ini betul-betul di peruntukan bagi mereka yang hidup bergelimang harta.
Contohnya saja Johan.
Derap kaki berhenti mengayun tatkala alamat yang tertera di layar ponsel membawanya pada sebuah bangunan sewarna putih gading. Tinggi gedung tersebut tampak akan menyaingi gedung-gedung pencakar langit di pusat kota. Ah, jadi di sinilah Johan bekerja selain saat di instansi pendidikan. Yah, tidak mengherankan apabila di lihat lewat seberapa mudahnya Johan mengeluarkan uang kemarin ini.
Niat hati awalnya datang kemari untuk mengembalikan kartu ajaib yang telah Johan berikan padanya. Ghaitsa merasa belum cukup bertanggung jawab dalam memegang senjata pamungkas orang-orang kaya di dalam film tersebut. Oleh karena itu dia ingin segera mengembalikannya sebab takut akan tergoda bujuk rayu setan apabila menyimpan kartu itu dalam waktu yang lebih lama lagi. Tidak-tidak. Mama tidak mengajarinya menjadi manusia tamak dan serakah. Ghaitsa mantap ingin mengembalikannya hari ini juga. Namun lantaran terlalu menikmati agenda piknik dan jalan-jalan keluarga mereka, Ghaitsa sampai-sampai tidak terpikirkan meminta nomor ponsel sang ayah hingga di sinilah ia berada. Berbekal dari informasi yang sempat Johan beberkan kala mereka makan malam sebelum pulang jalan-jalan, alamat tempat pusat farmasi penelitian dan pengembangan di mana ketika tugas sebagai dosen besar pada dua universitas telah rampung di laksanakan maka Johan akan menghabiskan sebagian besar waktunya di pusat farmasi.Kendati demikian sang puan nekat datang hanya dengan mengantongi alamat yang ia dapatkan via internet. Hingga dia sendiri berkecil hati lantaran hanya membawa sekotak donat termahal yang pernah ia makan, akan tetapi jikalau di bandingkan dengan Johan. Bukankah sekotak donat ini takkan berarti apa-apa? Apalagi bukan donat dari merk ternama.
"Tapi gue tetap nggak boleh goyah. Donatnya bisa buat gue aja. Tapi kartu ini harus gue balikin hari ini juga."
Walau masih terbayang-bayang keraguan, Ghaitsa mantap melangkah memasuki gedung. Namun baru saja ingin berbicara dengan resepsionis, sebuah suara familiar mengetuk gendang telinga. "Ghaitsa?"
Di sana dengan setelan formal Johan berdiri bersama beberapa orang asing di sebelahnya. Mereka mengenakan jas putih panjang; seperti dokter. Puan tersebut lantas tersenyum tipis. "Papa. Eum, lagi sibuk banget, ya? Maaf, ya, Aisa nggak bilang-bilang mau datang ke sini."
"No. It's okay. Nggak papa." Johan lekas mendekati anak bungsunya tersebut usai berkata pada bawahannya. "Kita bicarakan lagi nanti. Kalian istirahat saja dulu. Saya ada urusan sebentar."
"Baik, Pak." dan mereka pun berlalu pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...